Dalam konteks kehidupan kampus yang seharusnya menjadi pusat perkembangan intelektual dan wadah gagasan konstruktif, mahasiswa sering kali menjadi sasaran dari berbagai bentuk penyebaran ideologi. Salah satunya adalah ideologi sosialis yang, meskipun terlihat sebagai wacana yang menjanjikan keadilan sosial, justru berpotensi membawa pengaruh destruktif. Sebagai generasi yang kritis, mahasiswa memiliki potensi besar untuk mendorong perubahan, namun harus tetap waspada terhadap upaya penyusupan ideologi yang dapat mengarahkan pada pemikiran ekstrem, termasuk komunisme, yang bertentangan dengan dasar negara Indonesia, Pancasila.
Gerakan-gerakan massa yang mengusung isu hak asasi manusia (HAM), penghianatan reformasi dan tragedi semanggi, seperti Aksi Kamisan, Aliansi Jurnalis Independen (AJI), dan Badan Eksekutif Mahasiswa Seluruh Indonesia (BEM SI), sejatinya berangkat dari semangat untuk memperjuangkan keadilan. Namun, isu-isu yang tampaknya berniat baik ini kerap disusupi dengan narasi ideologis yang dapat menggerakkan massa menuju pemahaman yang radikal. Melalui pengemasan isu-isu tersebut, kelompok-kelompok tertentu berusaha menggiring mahasiswa untuk menentang sistem pemerintahan yang berlaku di Indonesia, dengan menawarkan solusi berupa sistem sosialis yang lebih menyentuh keadilan sosial, tanpa disadari menyuburkan bibit-bibit pemikiran komunis.
Taktik yang digunakan oleh gerakan Aksi Kamisan, Aliansi Jurnalis Independen (AJI), dan Badan Eksekutif Mahasiswa Seluruh Indonesia (BEM SI), untuk menyusupkan ideologi sosialis, umumnya dengan memanfaatkan keresahan mahasiswa terhadap ketidakadilan sosial dan ketimpangan ekonomi. Isu-isu ini dijadikan landasan untuk membangun narasi yang menyarankan bahwa hanya dengan mengganti sistem yang ada dengan sistem sosialis atau bahkan komunis, kesejahteraan masyarakat dapat tercapai secara merata. Dalam prosesnya, mahasiswa pun sering kali diajak untuk menyetujui pemikiran yang tidak hanya radikal, tetapi juga berpotensi mengancam keutuhan negara dan dasar negara Indonesia, Pancasila.
Salah satu dampak dari penyusupan ideologi ini adalah terjadinya perpecahan di kalangan mahasiswa itu sendiri. Alih-alih menjadi kekuatan yang mendorong perubahan yang positif dan konstruktif, gerakan-gerakan tersebut justru berpotensi membuat mahasiswa terjebak dalam narasi yang hanya membenturkan mereka dengan pemerintah dan sesama teman mahasiswa yang memiliki pandangan berbeda. Sebagai generasi muda yang kritis, mahasiswa harus memiliki kemampuan untuk memilah dan memahami bahwa perjuangan keadilan sosial tidak harus mengarah pada pemikiran yang bertentangan dengan prinsip-prinsip kebangsaan dan kedamaian.
Oleh karena itu, kampus sebagai pusat pembelajaran harus memiliki peran yang lebih aktif dalam memberikan pemahaman kepada mahasiswa tentang ideologi Pancasila, serta pentingnya menjaga nilai-nilai kebangsaan Indonesia. Dosen dan akademisi perlu memfasilitasi diskusi yang sehat dan terbuka, sehingga mahasiswa dapat lebih bijak dalam menyikapi berbagai wacana ideologis yang berkembang di lingkungan kampus. Pendidikan yang berbasis pada prinsip-prinsip kebangsaan dan Pancasila akan memperkuat daya kritis mahasiswa tanpa terjebak dalam narasi yang menyesatkan.
Menghadapi tantangan globalisasi yang penuh dengan beragam ideologi yang mempengaruhi, kewaspadaan menjadi langkah yang sangat penting untuk memastikan mahasiswa tetap menjadi generasi yang cerdas, konstruktif, dan berdedikasi untuk kemajuan bangsa. Dengan literasi ideologi yang sehat dan pencerahan yang cukup, mahasiswa akan menjadi benteng yang kokoh bagi keutuhan negara Indonesia dan Pancasila, sekaligus menjadi agen perubahan yang membawa manfaat bagi bangsa dan negara Indonesia.
Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana
Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI