Memang tidak ada aturan pasti, kapan seorang anak lelaki harus disunat.
Ada yang baru berusia beberapa bulan tapi oleh orang tuanya sudah disunat, ada juga yang dilakukan saat balita. Tapi lebih banyak terjadi, anak lelaki disunat, atau dikhitan saat usai ujian Sekolah Dasar usai.
Begitu juga dengan si Thole, putra saya. Walaupun sebenarnya dia berat dan masih agak takut dengan prosesi tersebut, tapi karena terlanjur berjanji untuk bersedia disunat bila selesai ujian, ya sudah, mulailah kami berdiskusi.
Pertama tentu saja tentang, siapa yang akan melakukan prosesi tersebut. Seperti anak-anak pada umumnya, Thole juga sering bertanya-tanya pada teman-teman sekolahnya, dengan siapa dahulu mereka di sunat.
Dan seperti halnya anak-anak juga, mereka cenderung ingin meniru temannya itu.
Jadi, karena rekomendasi dari teman si Thole, bahwa ia disunat dengan menggunakan jasa seorang mantri dari RS swasta di kota kami, maka kami pun menghubungi si mantri.
Waktu prosesi 'penjagalan' pun ditentukan. Tepatnya jatuh pada hari Minggu kemarin. Pertimbangannya, si Thole sudah selesai ujian SD-nya, dan juga sudah selesai acara jalan-jalan ke Ciputra Water park, tempat mainan air punyanya Pak Ciputra yang super tajir itu.
Saya sebagai emaknya, yang single mother, tentu harus menemani dan mendampingi Thole. Soalnya dia emoh ditemani oleh banyak orang, selain saya sendiri.
Mbah Uti nya saja dia usir jauh-jauh, bila ingin mendekat sekedar melihat. Parahnya, saya itu orangnya agak nggak tegaan, ngerian, nangisan, dan juga sedikit parno-an. Lengkap sudah penderitaan saya hari minggu kemarin.
Jadi, dari pada saya pingsan dan si mantri kebingungan sendirian ngurusin pasien sunat dan pendampingnya, jadi kakak lelaki saya juga ikut menemani. Itung-itung dia nostalgia, mengingat masa indahnya saat di sunat dulu :)
Hari H, jam J, dan menit M tiba. Kami berempat siaga di kamar tengah, dengan si Thole yang tergeletak pasrah di tempat eksekusi.