dimuat di Jurnas 15 September 2010
Awan berlalu dengan tak acuh meninggalkan aku yang menunggu. Ia seperti tak perduli pada tatapan penuh tanya mataku. Tidak juga menyahut pada lantang suaraku. Geram, aku mengejar mereka. Kenapa engkau diam saja awan sombong? Teriakku penasaran. Kurang ajar, mereka malah pudar! Aku terus mengejar. Tapi lagi-lagi, tanpa ekspresi sedikitpun, mereka bersenyawa dengan angin, lalu sirna .
Sama seperti awan, angin, hujan dan rumput pun seperti bersekutu. Tak ada yang mau menjawab aku. Mereka semua diam saja. Memandangkupun tidak. Atau sebenarnya mereka juga tak tahu serta sedang sibuk mencari jawaban seperti aku? Huffff… aku kecewa sekali. Hampir putus asa mencari tahu. Untuk sebuah pertanyaan sederhana saja. Tidak rumit seperti urusan pejabat yang ketahuan korupsi. Tidak juga ruwet seperti masalah selebriti yang di somasi. Pertanyaanku hanya satu. Sederhana. Adakah mereka tahu dimana Tuhan berada?
Frustasi dan hampir putus asa, kelelahan selama dua minggu mencari, akhirnya aku duduk di atas sebuah pokok pohon tumbang. Airmataku merebak. Meleleh, lalu menganak sungai pada pipiku yang tirus tak terurus. Mengapa begitu sulit menemukanNya? Aku toh hanya ingin bertemu sebentar. Bertanya hal penting yang saat ini begitu menyesakkan dada dan kepalaku. Itu saja. Tapi tetap, semua yang aku tanyai tentang keberadaanNya hanya diam. Tak mau menjawab. Padahal aku sangat membutuhkan Dia saat ini.
Tidak ada sebuah petunjukpun yang bisa membantu aku menemukan Nya. Sebuah papan penunjuk arah, atau peta, atau Guide, atau apalah namanya. Pokoknya bisa membuat aku segera mengakhiri pencarianku.
Pernah ada suara-suara yang berbisik, sok menjadi penunjuk arah bagiku. Dia bilang, Tuhan sedang bersemayam di atas air yang luas. Carilah Dia di sana! Maka berlarilah aku pada lautan lepas. Samudra terluas yang bisa aku capai. Seperti terbang aku saat itu. Tak terasa olehku tajamnya bebatuan dan duri-duri tumbuhan. Lalu aku berdiri pada tepiannya sambil berseru-seru. Tuhan….!!!! Tuhan…!!! Tapi, sampai tenggorokanku sakit dan tak ada suara lagi yang bisa aku keluarkan, Dia tak juga tampak.
Kecewa, aku pergi dari tepian samudra itu dengan sesak di dada. Karena tanyaku tak berhasil kulontarkan pada Dia.
Suara kekehan bergema pada gendang telingaku. Aku semakin kebingungan. Lantas suara-suara itu kembali berbisik. Katanya, Tuhan sedang berada di puncak gunung tertinggi. Seketika itu juga aku pacu langkahku pada gunung tertinggi. Harapan untuk segera bertemu dan memintaNya membebaskan aku dari sesak ini membuatku jatuh bangun berlari. Aku takut tak bisa berjumpa denganNya. Khawatir Dia akan berpindah tempat lagi. Tapi sesampaiku di puncak, aku kembali kecewa. Tak sesosokpun yang aku jumpai melainkan jiwa lelahku saja.
Hatiku menangis, seperti juga mataku yang tak henti berembun.
Lalu suara itu ramai berbisik kembali. Katanya, mungkin kau bisa menjumpaiNya di sana, tempat matahari terbenam. Tapi kali ini aku ragu untuk menuruti bisikan itu. Sudah dua kali suara itu berbohong padaku. Aku takut di bohongi lagi. Jadi aku acuhkan saja dia. Membiarkan kekehannya terus bergema di telingaku.
Dan disinilah aku. Kembali pada pokok pohon tumbang tempatku duduk pertama kali. Mencoba bertanya pada awan, angin, hujan, dan rumput di sekitarku. Siapa tahu mereka lebih tahu dimana Tuhan berada daripada suara-suara pembohong itu.
Tapi seperti aku ceritakan diatas, mereka diam saja. Huh!! Ternyata mereka diam saja.Sepertinya mereka marah padaku? atau bahkan sengaja membiarkan aku semakin kebingungan? Kalau benar begitu, mereka berhasil. Aku memang semakin terlempar pada pusaran tanya. Berputar-putar tanpa tahu tujuanku.
Aku menyesal sekarang. Mengapa pencarian akan keberadaan-Nya ini tak aku lakukan dari dulu? Saat situasinya lebih memungkinkan bagiku? Saat Dia masih mungkin menjawab tanyaku?
Tapi memang, penyesalan selalu datang belakangan. Saat segalanya sudah terlambat. Saat harap sudah lebur dan hancur.
Aku ingat, Papa sering menyuruh aku mengikuti bimbingan rohani yang diadakan di rumah setiap malam jum’at. Namun aku selalu saja punya alasan untuk mangkir. Yang belajar bersamalah, yang ada tugaslah, yang pulang kuliah telatlah. Pokoknya apa saja yang membuat aku tidak harus duduk dan terkantuk-kantuk mendengar Pak Yasin, nama guru spiritual kami itu, berceramah.
Aku sungguh anti membaca huruf demi huruf tulisan arab yang membuatku bingung.
Entahlah. Aku merasa bahwa kegiatan itu hanya buang-buang waktu saja. Tak ada gunanya. Aku masih muda Papa. Masih ingin senang-senang. Belajar agamahanya akan membatasi pergaulanku. Kataku setiap kali Papa bertanya. Paling-paling yang diajarkan hanyalah, tidak boleh ini, tidak boleh itu. Harus begin,i harus begitu.
Aku merasa tidak bisa jadi diriku sendiri. Semua serba dibatasi. Aku menggeleng-gelengkan kepalaku sendiri. Penyesalan memang selalu terlambat datangnya.
Mungkin karena kenakalanku dulu itu, Tuhan marah padaku. Oh, atau mungkin, Tuhan sedang bersembunyi karena tahu aku sedang mencariNya. Dia pasti takut aku bertanya tentang hal itu. Sedetik kemudian aku menggeleng-geleng. Lalu terbahak sendiri. Aku sudah benar-benar gila saat ini rasanya.
Baiklah, aku akan ceritakan pada kalian sebab mengapa aku sangat membutuhkan Tuhan saat ini. Padahal dahulu, aku bukanlah seorang yang begitu perduli pada eksistensiNya.
* * *
Siang itu, Pras, seorang teman kuliahku, mendadak mengajak aku menengok Ratih. Sebenarnya Pras tidak satu fakultas denganku. Dia di MIPA, sedangkan aku Kedokteran Umum. Ratih sendiri adalah kekasih Pras. Ia satu fakultas denganku di kedokteran. Saat itu wajah Pras nampak sangat tegang dan bingung. Kata Pras, Ratih, yang sudah 2 hari tidak masuk kuliah, sedang sakit. Entah sakit apa. Dan ia memohon padaku untuk mengantarnya menjenguk gadis itu, karena Pras tidak memiliki kendaraan. Sebagai sesama perantau di Pulau Sumatra ini, perasaan iba membuat aku mengiyakan ajakan Pras untuk menjenguk Ratih.Seperti aku, Ratih juga berasal dari Jakarta.
Lalu, menggunakan Honda Jazz yang diberikan Papa sebagai alat transportasiku, karena memang lokasi kampus yang lumayan jauh, maka berdua kami berkendara menuju sebuah lokasi yang tak begitu aku kenal. Pras yang menunjukkan jalannya. Jauh sekali rasanya tempat itu hingga aku sangsi Ratih benar-benar tinggal di sana. Tempat itu lebih mirip perkebunan.
Yang aku herankan, telpon genggam Ratih saat itu tidak dapat ku hubungi. Berulang kali aku tanyakan perihal itu pada Pras. Namun jawabannya selalu dapat membuat rasa ragu dalam hatiku lenyap.
Perlahan-lahan aku baringkan tubuhku pada pokok pohon tumbang ini. Lelah. Sambil ingatanku melayang kembali kepada kejadian itu. Malam belum begitu larut saat ini. Bintang tak nampak sebuahpun. Awan senantiasa menutupi langit Sumatra di bulan Februari. Hampir tiap malam turun hujan.
Lalu kawan, di suatu jalan yang sepi berpagar tebu di kanan kirinya, Pras minta aku menepikan mobil. Sesuatu ditekannya pada rusukku. Rasanya tajam. Aku terkejut dan panik, namun bibirku seperti terkunci. Belakangan, aku ketahui bahwa benda itu adalah sebilah pisau.
Entah dari mana Pras mengeluarkan benda itu. Mungkin dari tas cangklong yang tersampir di pundaknya. Aku tidak begitu memperhatikan. Yang jelas, setelah itu, Pras memaksa aku membuka pintu sebelah kemudi, dan menyuruh aku keluar sambil tetap menodongkan pisau itu pada rusukku.
Aku ketakutan sekali. Berbagai doa aku rapalkan dalam hati. Sesuatu yang jarang aku lakukan sebenarnya. Tapi kawan, tak ada keajaiban yang terjadi.
Padahal aku sangat berharap Tuhan mau mengabulkan segala do’a yang aku rapalkan saat itu.
Aku jadi sangsi. Sebenarnya Tuhan ada atau tidak sih? Sebab jika Ia ada, maka aku sungguh kagum akan kekerasan hatinya. Atau kena’ifanku sebagai manusia yang tak mampu berpikir di luar kemanusiaanku, hingga mensifatkan Sang Pencipta memiliki hati layaknya manusia?
Atau, sesungguhnya, Tuhan memang tahu persis apa yang dilakukannya, sehingga tak lagi memerlukan hati, agar tak perlu memalingkan wajah, saat menuliskan takdir sangat buruk pada makhluknya. Karena semestinya Dia telah pula rencanakan sebuah hikmah di sebalik setiap peristiwa. Buruk ataupun baik.
Atau jangan-jangan Dia sedang tertidur? Jika tidak, mengapa Dia tak mengirim satu saja utusanNya untuk menolongku? Angin kencang yang mengangkat tubuh Pras, atau seorang manusia yang kebetulan tersesat di jalan sepi tempat Pras memperdayaku, atau seekor serangga yang tiba-tiba masuk ke telinga lelaki jahanam itu, atau apa sajalah yang bisa membuat Pras lalu mengurungkan niatnya merampok harta dan kehormatanku.
Tapi kenyataannya tidak sama sekali. Tidak ada hal ajaib yang tiba-tiba terjadi dan menyelamatkan aku dari peristiwa terkutuk itu. Tidak ada koreksi pada jalan takdir yang harus aku lewati. Dan aku tetap harus mengalami, mengingat, merasakan, detik demi detiknya, saat Pras kemudian membanting tubuhku di semak-semak. Dekat pokok pohon tumbang ini.
Aku menuruti setiap kata-katanya dengan harapan ia tidak menjadi kalap. Bahkan saat ia lalu mengeluarkan seutas tali dari dalam tasnya, kemudian mengikat kedua tanganku jadi satu. Lalu menyeretku pada pokok pohon ini. Aku turuti semua.
Aku berulang kali instropeksi diri. Mencari-cari adanya hikmah di balik peristiwa laknat itu. Mencoba berbaik sangka pada Tuhan. Bukankah Dia menyuruh umatNya untuk berbaik sangka?
Tapi semakin aku mencari hikmah apa yang ada, semakin sering kilasan kepedihan itu muncul. Semakin aku ingin menghapusnya, semakin lekat dia pada batok kepalaku. Membuat aku terjebak pada menit-menitnya. Seperti disk rusak yang memutar bagian yang sama berulang kali. Menerorku pada menit-menit terkutuk itu. Arrrgghhh….!!! Tuhaaann… aku tak sanggup!!!!!
Hikmah apa yang bisa kau dapatkan jika seseorang dengan sadis merampok dan memperkosamu? Aku terbahak. Seakan mentertawakan sebuah lelucon yang teramat menggelikan.
Pada puncaknya, dengan kekejian luar biasa yang aku yakini, diwarisinya langsung dari setan sang sumber kegelapan, Pras meninggalkan aku sendirian disini. Ketakutan, kebingungan dan kedinginan. Serta tak tahu jalan pulang.
Aku tersedu-sedu. Ingatan itu datang lagi. Terus menerus dan lalu terkekeh-kekeh pergi setelah aku meringkuk ketakutan sambil terkencing-kencing. Aku terjebak dalam pusaran waktu yang itu-itu saja. Berulang dan terus berulang. Cukuuuppp…!!jeritku. Tapi ia tak juga berakhir.
Jadi kawan, sekarang kau paham kan? Itu yang menyebabkan aku harus segera bertemu Tuhan. Aku rasa, hanya Dialah yang bisa memberikan jawaban mengapa jalan takdirku harus demikian memilukan. Dan mengapa bukan orang-orang seperti Pras saja yang harus mengalami penderitaan sedemikian.
Kembali mataku merebak. Mengalirkan kisah sedih yang tak seorangpun bisa menghapusnya. Karena ia abadi. Karena air mata ini saja yang menemani aku hingga nanti. Kecuali Tuhan berbaik hati menolongku.
Kilatan petir membelah pekatnya langit. Hujan mungkin sebentar lagi turun. Aku kelelahan.Lalu aku putuskan untuk tidur lagi di sini. Seperti malam-malam kemarin. Mungkin ini memang tempat tinggal abadiku. Sudah lebih dua minggu aku tak pulang. Aku tak tahu jalan pulang. Jika mereka tahu apa yang menimpaku, pastilah Mama akan sangat shock. Juga Papa.
Kupandangi gundukan tanah yang masih baru di dekat pokok pohon tumbang ini. Hujan telah mengikis sebagian tanahnya hingga sepotong kaki langsing tersembul. Tempat Pras menyeret tubuhku, lalu menggali sebuah lubang dangkal disana. kemudian meninggalkan aku sendirian..
"Inochi"
8 maret 2010
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H