Mohon tunggu...
INOCENSIUS Y. NG.
INOCENSIUS Y. NG. Mohon Tunggu... Lainnya - Bergerak menuju perubahan

Pemuda Indonesia

Selanjutnya

Tutup

Politik

Kasus Korupsi Dana Desa: Antara Peluang dan Kesempatan

1 Juni 2021   21:43 Diperbarui: 1 Juni 2021   21:43 261
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Oleh: Inocensius Yohanes Ngongo

Masalah korupsi pada saat ini tidak lagi berpusat diwilayah perkotaan, akhir-akhir ini telah muncul berbagai gejala yang sangat mengkawatirkan, hal dimana desentralisasi korupsi telah menyebar hinggah kewilayah pedesaan yaitu wilayah  terkecil dari struktur pemerintahan.

Persoalan mengenai gejala negatif ini bahwasannya tidak bisa dilepaskan dengan adanya berbagai kebijakan alokasi dana desa yang telah dikuncurkan pemerintah sebagaimana sesuai mandatnya dalam Undang-Undang Nomor 6 tahun 2014 tentang desa. Bahwa dalam pasal 72 Undang-Undang Desa tersebut menyebutkan bahwasannya desa mendapatkan pelimpahan dana dari Anggaran Pendapatan Dan Belanja Negara (APBN) yang kemudian disebut sebagai dana desa. 

Selain dari hal tersebut, desa juga mendapatkan Alokasi Dana Desa (ADD) yang dimana bersumber dari dana perimbangan yang diterima dari kabupaten/kota. Berdasarkan kedua sumber keuangan tersebut telah menjadi anggaran pendapatan dan belanja desa atau APBDes yang kemudian wajib dikelolah oleh pemerintah desa secara partisipatif, transparan dan akuntabel.

Sejak tahun 2015 proses pencairan dana desa ke 74.954 desa diseluruh Indonesia telah berlangsung. Bahkan setiap tahunnya anggaran dana desa terus mengalami peningkatan yang sangat signifikan. Dimana pada tahun 2017 berjumlah 60 triliun dan terakhir ditahun 2020 berjumlah 72 triliun yang dimana naik 2 triliun dari tahun 2019. Sedangkan wilayah Nusa Tenggara Timur dana desa untuk tahun 2020 telah meningkat menjadi 3,9 triliun dari 3,2 triliun dari tahun sebelumnya. Dana ini untuk 3.026 desa yang berada diwilayah provinsi yang notabenenya berbasis kepulauan. 

Menjadi sangat disayangkan, apabila pengelolaan dana desa ini kemudian diwarnai dengan maraknya praktik korupsi oleh aparat desa. Berdasarkan laporan pemantauan Indonesia Corruption Watch (ICW) untuk tahun 2020 mencatat terjadi tren yang sangat signifikan dimana korupsi anggaran desa menempati urutan pertama berdasarkan sektornya, dalam hal ini terdapat 44 kasus atau sekitar 26 % kasus korupsi. Sedangkan jumlah aktor yang ditetapkan sebagai tersangka oleh penegak hukum adalah sebanyak 53 orang. Berdasarkan hal itu, negara mengalami kerugian mencapai 16,6 milliar dan rata-rata kerugian negara perkasus mencapai 378 juta.

ICW juga melakukan pemetaan korupsi berdasarkan provinsi yang dimana terjadi kerawanan terhadap korupsi. Dalam pantauan tersebut Nusa Tenggara Timur masih termasuk dalam sepuluh besar yang rawan akan korupsi. Hal ini bisa kemudian dapat disejajarkan dengan data yang dihinpun oleh media rakyat.com melalui Sistem Informasi Penelusuran Perkara (SIPP) pengadilan negeri kelas 1A kupang, sejak maret 2016 sampai dengan saat ini telah tercatat setidaknya ada 45 kepala desa atau pejabat desa yang telah divonis bersalah oleh pengadilan tipikor pada pengadilan negeri kupang karena terbukti telah melakukan korupsi dana desa. 

Selain 45 kepala desa yang telah divonis bersalah tersebut, terdapat ada 6 kepala desa atau pejabat desa yang berstatus terdakwa karena sedang menjalani proses persidangan dipengadilan tipikor kupang dan juga dalam beberapa waktu ini ada 1 kepala desa yang ditetapkan sebagai tersangka oleh penyedik polres kupang. Dengan demikian maka terdapat 52 kapala desa atau pejabat desa di Nusa Tenggara Timur yang tersandung kasus korupsi.

Dengan banyaknya kepala desa yang tersandung kasus korupsi tentu saja ini menjadi hal yang sangat menyedihkan. Padahal kalau dikaji lebih jauh dalam pasal 26 ayat (4) Undang-Undang Desa telah menegaskan bahwa kepala desa mempunyai kewajiban untuk bagaimana melaksanakan prinsip tata pemerintahan desa yang profesional, akuntabel, efektif dan efisien, bersih, serta bebas dari kolusi, korupsi dan nepotisme. 

Dengan maraknya kasus korupsi dana desa atau penyelewengan yang dilakukan oleh kepala desa tersebut menandahkan bahwa masih belum efektifnya sistem pengawasan dan moral pejabat kita. Disamping itu juga, keberadaan pendamping desa juga masih diragukan bahwasannya pendamping desa bisa dengan sedapat mungkin bersilad lidah dengan kepala desa dalam proses urusan anggaran. Hal ini justru sangat merisaukan bahwa kemudian pendamping desa juga mala tidak memiliki kapasitas dan pemahaman yang mampuni untuk menjalankan tugas dan fungsinya dengan baik dan profesional. Beberapa persoalan lain yang kemudian menjadi akar terjadinya korupsi ditingkat desa karena minimnya pelibatan masyarakat dalam proses perencanaan dan pengawasan anggaran desa, tidak optimalnya badan permusyawaratan desa, terbatasnya kompetensi kepala desa dan perangkat desa, serta tingginya biaya politik pemilihan kepala desa. 

Dengan besarnya anggaran yang terima oleh desa tentu saja dibutuhkan pengawasan dan pendampingan yang kontiniu, sehinggah tujuan anggaran dana desa dapat dicapai dan menjadi tepat sasaran. Persoalan maraknya korupsi yang dilakukan oleh kepala desa atau pejabat desa dipicu oleh karena hadirnya peluang atau kesempatan, hal ini bahkan menjadi jelas dan gamblang bahwasannya proses pendampingan dan pengawasan terhadap desa selama ini sangat renggang terutama didaerah-daerah terpencil atau wilayah yang dengan keberadaan ekonominya sangat rendah, walaupun juga dalam kasus lain terjadi diperkotaan. 

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Politik Selengkapnya
Lihat Politik Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun