Pernah nonton serial film kartun yang diputar di salah satu stasiun televisi swasta: 'Avatar, the Legend of Aang'? Ada dua episode yang sangat menginspirasi saya (walaupun sesungguhnya tiap episode selalu penuh inspirasi). Pada satu episode, si Aang, tokoh utama dalam serial ini, sang Avatar, berusaha memecahkan suatu misteri. Alkisah di sebuah desa, setiap malam datang makhluk seperti monster, mengamuk dan menculik warga desa. Makhluk itu menghilang di rerimbunan hutan yang ternyata apabila kita masuk lebih jauh ke dalamnya - tinggal sisa-sisa pohon yang telah banyak ditebang oleh masyarakat desa. Akhir cerita ditemukan fakta bahwa monster tersebut adalah roh hutan desa, yang marah karena hutan hampir habis oleh kebakaran, penggundulan dan penebangan liar yang terjadi. Roh tersebut baru mereda amuknya dan melepaskan para sandera setelah Aang memberikan bibit pohon bambu untuknya. Bibit itu adalah sebuah simbol bahwa penduduk desa bersedia meremajakan hutan dan akan menjaga kelestariannya.
Episode di atas membuat angan saya melayang pada kondisi hutan di tanah air tercinta. Berbicara tentang hutan di Indonesia, tidak lepas dari posisi penting Indonesia sebagai paru-paru dunia. Bagaimana tidak, luasan hutan di Indonesia adalah nomor tiga terbesar di dunia setelah Brazil dan Zaire. Namun yang menyedihkan laju kerusakan hutan pun sangat tinggi. Walhi (2007) mengemukakan bahwa setiap tahun Indonesia kehilangan hutan lebih dari dua juta hektar. Simon (2004) menyebutkan bahwa dari segi waktu dan luas wilayah, kerusakan hutan tropis Indonesia merupakan rekor tertinggi dibandingkan dengan negara lain. Hutan tropis basah seluas 64 juta hektar, rusak hanya dalam jangka waktu 20 tahun. Tingginya tingkat kerusakan hutan di Indonesia juga telah memasukkan negara ini sebagai pencemar rumah kaca ketiga di dunia setelah Amerika Serikat dan Cina. 25% dari emisi gas rumah kaca itu disumbangkan dari adanya pembukaan dan alih fungsi lahan hutan (Fajar, 2007). Kerusakan lingkungan yang sudah bertambah parah di Indonesia ditandai dengan banyaknya bencana ekologis seperti banjir, tanah longsor, gagal tanam, gagal panen dan epidemi penyakit. Di seluruh Indonesia sepanjang tahun 2006 terjadi 135 kali bencana ekologis termasuk banjir yang tiap tahun melanda ibu kota (Kompas, 2007). Sementara kerusakan akibat banjir di pulau Jawa pada tahun 2007 telah menyedot dana lebih dari 2,01 triliun rupiah. Yang lebih anyar, tentunya tragedi banjir di Wasior yang mengakibatkan kehilangan nyawa yang tidak sedikit.
Kembali pada kisah Avatar di atas, fenomena yang hampir sama juga terjadi di Indonesia. Berita pagi di sebuah stasiun televisi swasta tanggal 26 Oktober 2007 menyebutkan adanya sekawanan gajah yang mengamuk masuk desa, hingga membawa korban. Ditengarai penyebabnya adalah semakin rusaknya hutan sebagai habitat gajah, akibat penggundulan yang merajalela. Peristiwa ini terjadi di sebuah desa di Propinsi Riau. Analisis seorang pakar mengatakan bahwa gajah memiliki rute jelajah tertentu. Biasanya berputar dalam radius maksimum 200 kilometer. Daerah jelajah gajah tersebut kini telah beralih fungsi menjadi areal perkebunan, ladang dan pemukiman penduduk. Tanpa peduli dengan adanya alih fungsi lahan (mana tahu gajah kalau habitatnya telah beralih fungsi?), kawanan gajah tetap melakoni rute jelajahnya. Oleh karena itu, saat ini masyarakat makin sering melihat kawanan gajah masuk ke areal pemukiman. Jadi bukan gajah yang keluar dari sarang, tapi justru manusia yang merambah tempat hidup gajah. Saat kawanan gajah melewati kebun dan rumah-rumah penduduk, biasa memakan apa saja yang bisa dimakan sehingga sering dituding sebagai perusak kebun dan pemukiman penduduk. Di beberapa tempat fenomena yang sama mulai sering terjadi, antara lain gajah di Kabupaten Nunukan, Kalimantan Timur (Kompas, 2006) dan harimau di wilayah Nanggroe Aceh Darussalam (Kompas, 2006a).
Mengamuknya hewan liar di luar habitatnya hanyalah sebuah dampak yang relatif kecil dari perusakan hutan. Dampak yang lebih besar sebenarnya telah memperingatkan kita berkali-kali. Banjir dan longsor di musim hujan, kekeringan yang panjang di musim kemarau, menipisnya ozon dan ancaman pemanasan global. Bencana 'kecil' berupa amukan gajah atau harimau mungkin dapat 'dibalas' dengan lampiasan amarah membunuh sang hewan yang sebenarnya tidak berdosa, namun bencana besar seperti air bah atau kekeringan? Siapa yang harus disalahkan? Pada siapa rasa sesal dan lampiasan amarah dialamatkan?
Di episode lain kisah Aang bertutur akan pentingnya keseimbangan pada alam semesta sehingga adalah penting mempertahankan elemen-elemen yang ada seperti sedia kala. Hilang atau musnahnya satu elemen akan merugikan tidak hanya satu orang tapi setiap insan di bumi ini. Dikisahkan seorang panglima dari negara api yang haus kekuasaan bermaksud melenyapkan bulan untuk mengalahkan musuhnya dari suku air, yang rahasia kekuatannya ada pada bulan. Bulan dapat dilenyapkan dengan membunuh roh rembulan di bumi yang berwujud seekor ikan yang hidup di sebuah kolam rahasia. Perbuatan si panglima ini akhirnya malah membawa kehancuran pada dirinya sendiri.
Apabila dianalogkan dengan hutan sebagai salah satu elemen yang harus dipertahankan di bumi ini, maka kerusakan hutan tidak hanya akan berdampak negatif terhadap penduduk di sekitarnya, melainkan juga penduduk di daerah lain, si perusak hutan itu sendiri bahkan keseimbangan alam secara luas. Hutan sendiri bukanlah satu-satunya elemen yang harus kita perhatikan. Perbaikan hutan harus disertai dengan kesadaran dari masyarakat untuk merubah perilaku atau pola hidup yang terkait dengan lingkungan secara luas seperti tidak membuang sampah sembarangan, tidak mengambil air tanah secara berlebihan, mengurangi polusi, mendaur ulang sampah dan lain sebagainya. Oleh sebab itu marilah berpikir lebih panjang sebelum melakukan kegiatan perusakan hutan dan lingkungan. Mari bersama-sama kita jaga hutan dan lingkungan kita demi kelestarian kehidupan di masa yang akan datang (dari berbagai sumber-tulisan saya ini pernah dimuat di Majalah Kehutanan Indonesia).
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H