Sejak pindah ke jalan kaliurang km.8,5 saya jadi mengakrabi angkot kaliurang-jogja dan rute sebaliknya. Angkot ini tidak sering-sering lewat, kira-kira lima belas menit sekali baru ia lewat bergantian, karenanya kalau ke kampus (UGM) saya biasa menyediakan waktu satu jam sebelum jadwal kuliah, agar tidak telat gara-gara nunggu angkot. Walaupun penampilan armada angkot ini tidak ada yang kinclong (semua lusuh dan jadul), namun lama-lama saya menikmati setiap perjalanan menggunakan angkot ini. Dayu - Kampus, cukup tiga ribu rupiah, murah meriah.
Huffh...pagi itu saya melompat ke dalam angkot yang segera melaju kencang. Ini salah satu hal yang tidak saya sukai dari naik angkot. Penumpang belum duduk dengan baik, pak sopir sudah tancap gas...ooh, nasib penumpang tiga ribu rupiah. Rupanya kali ini ada yang berbeda karena saya mendengar suara menggerutu dari bangku belakang. Seorang ibu-ibu paruh baya tampak ngedumel dan ow, ow...ia memandangi saya dengan tatapan setajam...silet!
Ibu-ibu itu berteriak pada pak sopir, "Kan aku sudah bilang tadi jangan ambil penumpang! Aku berani bayar tujuh puluh ribu rupiah. Sudah dibilang perutku sakit, kamu masih saja berhenti ambil penumpang. Cuma uang tiga ribu saja kamu kejar...!"
Saya terkesiap pucat, dan segera memahami situasi. Rupanya si ibu sedang sakit perut, lalu ia setengah mencarter/sewa angkot itu untuk terus melaju saja agar ia segera sampai di tempat tujuannya. Saya jadi merasa bersalah dan salah tingkah...tapi kan saya tidak tahu apa-apa...
"Sudah, sekarang kamu jangan turunkan penumpang!" omel si ibu lagi dengan galak diikuti rentetan keluhan dan gerutuan berkepanjangan. Kami para penumpang yang lain terdiam membisu.
Seorang mbak-mbak di depan saya kebetulan mau turun di perempatan ring road. Ia menyerahkan uang pada pak sopir. Pak sopir yang rupanya mengenal si embak secara pribadi berkata,
"Piye, ora oleh mudun ki..." gimana, nggak boleh turun niy...
"Wah, njur aku piye nek ora mudun..." wah, lha saya gimana kalau tidak turun...
Si embak senyum-senyum ketika pak sopir menurunkannya di lampu merah, "sing sabar yo mas..." ucapnya pada Pak sopir saat ia turun dari angkot. Maksudnya, ia menyuruh pak sopir bersabar menghadapi perilaku si ibu.
Saya masih ada di dalam angkot, ketika ibu-ibu pemarah yang tadi sudah tidak bersuara lagi. Rupanya penyakit perutnya sudah reda. Ibu-ibu itu pindah duduk ke depan, tepat di depan saya dan ngobrol dengan penumpang di sampingnya sambil tertawa-tawa...
Saya ingin menyapanya sekaligus menyindir, "sudah sembuh, ya Bu..." tapi saya tidak berani takut disemprot, jadi saya cuma diam pura-pura tidak terpengaruh dengan kejadian barusan. Akhirnya saya turun di samping gedung pusat....meninggalkan si ibu yang sedang berbincang-bincang seolah tidak pernah terjadi apa-apa...olala...