Bagi sebagian orang yang pernah menderita sakit gigi, tentu merasakan betapa menyiksanya derita cenat-cenut yang seperti tiada akhir. Sayangnya dari sebagian orang tersebut juga menganggap bahwa pergi berobat ke dokter gigi merupakan puncak penderitaan itu, bukannya solusi untuk menyembuhkan derita yang telah dialaminya. Banyak orang yang takut ke dokter gigi dengan berbagai alasan.
Saya telah berpengalaman berkunjung ke dokter gigi sejak usia SD saat gigi susu mulai tanggal. Biasanya saat gigi susu mulai goyah, orang tua saya segera mengajak ke dokter gigi untuk mencabut gigi tersebut. Sepanjang ingatan saya, saya tidak terlalu takut, malahan senang karena setelah cabut gigi biasanya sang dokter menganjurkan saya untuk minum es.
Setelah semua gigi susu digantikan oleh gigi seri, saya tidak pernah lagi ke dokter gigi, walau mengetahui adanya anjuran periksa gigi enam bulan sekali.
Permasalahan dengan gigi mulai saya rasakan lagi ketika saya mulai berkeluarga dan mempunyai anak. Rasa ngilu sering datang dan gigi saya mulai keropos dan lubang-lubang. Mulailah saya agak rajin ke dokter gigi untuk membersihkan karang danmenambal gigi yang lubang.
Beberapa waktu yang lalu, tambalan gigi geraham bungsu atas sebelah kanan – lepas. Dokter bilang, gigi saya itu sudah tidak mungkin ditambal lagi karena lubangnya sudah terlalu besar dan dinding gigi ada yang retak. Solusi satu-satunya adalah mencabut gigi tersebut. Karena gigi tersebut tempatnya sangat istimewa (geraham bungsu atas), maka saya harus menjalani procedural rontgen terlebih dahulu untuk melihat posisi gigi sehingga akan memudahkan proses pencabutan. Karena takut, saya sempat menunda proses ini selama dua minggu, tapi dalam dua minggu itu rasa sakit karena ‘lubang hitam’ semakin sering terjadi. Akhirnya saya bersedia menjalani proses rontgen (ternyata prosesnya sangat singkat dan sederhana). Dokter gigi langganan saya menunjuk koleganya seorang dokter gigi spesialis bedah mulut, untuk melakukan pencabutan terhadap gigi saya. Saya agak tenang, karena merasa akan ditangani oleh ahlinya.
Saat tiba pencabutan, pertama saya diukur tekanan darah. Normalnya 100/70 agak naik menjadi 110/90, kata dokter saya agak tegang. Karena ukuran tekanan darah itu masih masuk normal, dokter segera menangani saya. Dengan sebuah alat suntik khusus, area gusi di sekeliling gigi yang sakit dianestesi. Awalnya terasa agak sakit, tapi kemudian tidak terasa. Setelah dokter merasa cukup (dua ampul obat bius), dengan tangan kanan ia mulai menggunakan alat khusus yang menjepit gigi dengan rapat. Tangan kiri dokter memegang langit-langit mulut, dan kemudian terasa sang dokter mengeluarkan tenaga berusaha mencabut si gigi yang nakal. Tak sampai lima menit, gigi saya sudah tanggal. Saya kemudian disuruh menggigit kapas yang telah dibubuhi obat selama satu jam berikutnya. Proses pencabutan gigi selesai. Saya masih harus mengkonsumsi antibiotic dan obat penghilang rasa sakit, dan saya disarankan minum es yang berfungsi untuk membantu proses pembekuan darah.
Setelah menjalani serangkaian proses pencabutan gigi ini, saya terbebas dari rasa ngilu gigi berlubang. Saran saya bagi teman yang masih takut mencabut gigi yang sakit, sbb:
-Carilah dokter gigi yang dapat memberikan keterangan detail pada kasus anda
-Selain dari dokter gigi, anda dapat mencari keterangan dari sumber lain (buku, internet,dll) dan mendiskusikan hal itu bersama dokter anda
-Temukan dokter gigi yang dapat anda percaya. Dengan adanya rasa percaya, anda akan relax saat menjalani proses pengobatan dan proses berjalan lancar tanpa hambatan.
Selamat mencabut gigi…
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H