Alvinella pompejana dikenal juga sebagai cacing pompeii. Cacing ini termasuk dalam filum annelida, kelas polychaeta, ordo Terebellida, dan famili Alvinellidae. Alvinella pompejana memiliki panjang sekitar 10 cm dan diameter kurang dari 1 cm. Bentuk tubuh cacing Pompeii seperti tabung berbentuk huruf U yang akan muncul dari lubang tempat keluarnya sulfida pada ventilasi hidrotermal.
Cacing Pompeii memiliki empat pasang insang yang terletak pada anterior dengan lamella yang terletak pada setiap batang insang. Cacing ini juga memiliki permukaan branchial yang besar untuk mempermudah mendapatkan oksigen.Â
Sirkulasi darah menuju insang dibantu oleh gerakan mekanis jantung. Bagian tengah jantung dilapisi oleh kantong selom yang mengelilingi kerongkongan, pembuluh supra-esofagus, dan "jaringan merah" yang terbuat dari selomosit dalam jumlah yang sangat besar.
Alvinella pompejana merupakan hewan endemik Pasifik Timur pada kedalaman sekitar 2500 meter. Daerah tersebut banyak terdapat ventilasi hidrotermal (hydrothermal vent) yang merupakan habitat asli dari cacing Pompeii. Cacing Pompeii juga berbagi habitat dengan beberapa famili dari kelas polychaeta lainnya seperti, polynoidae, nereididae, dan hesionidae.Â
Selain itu, spesies lainnya yang hidup di habitat yang sama dengan Alvinella pompejana yaitu Alvinella caudata dan Paralvinella grasslei. Komunitas bakteri epibiotik juga ditemukan berasosiasi dengan struktur seperti rambut pada cacing Pompeii. Bakteri tersebut menyediakan sumber nutrisi bagi cacing Pompeii dan memberikan perlindungan dari lingkungan bersuhu tinggi.
Ventilasi hidrotermal di laut dalam adalah habitat yang menantang bagi bentuk kehidupan metazoa karena lingkungan tersebut memiliki tekanan tinggi, suhu tinggi, dan senyawa kimia beracun dengan konsentrasi tinggi. Strategi adaptasi terhadap lingkungan ekstrim ini telah dipelajari pada berbagai organisme yang hidup pada ventilasi hidrotermal.Â
Alvinella pompejana merupakan spesies yang paling menarik diantara organisme yang hidup pada ventilasi hidrotermal karena kemampuannya untuk bertahan pada suhu tinggi pada dinding cerobong ventilasi hidrotermal. Spesies ini dikatakan sebagai salah satu metazoa yang paling toleran terhadap suhu tinggi hingga 80C sehingga banyak peneliti yang tertarik untuk mempelajari adaptasi yang dilakukan oleh Alvinella pompejana.
Daerah ventilasi hidrotermal memiliki kondisi geologi yang tidak stabil karena adanya aktivitas vulkanik dan tektonik yang sering terjadi. Hal tersebut menyebabkan suhu disekitar ventilasi hidrotermal dapat mencapai 100C, tingginya kandungan sulfida dan logam berat, pH yang asam, oksigen yang sedikit, dan CO2 yang tinggi. Suhu eksternal ventilasi hidrotermal dapat berfluktuasi dari 2 -- 100C. Namun, suhu di dalam tabung lebih stabil, sekitar 30 -- 35C, sehingga memungkinkan cacing untuk bertahan hidup dalam kondisi suhu ekstrim.
Cacing Pompeii mengembangkan mekanisme adaptasi untuk hidup pada cerobong ventilasi hidrotermal. Air bersuhu 120C yang berasal dari ventilasi hidrotermal akan memasuki tabung melalui celah-celah di cerobong. Sementara itu, air laut akan ditarik ke ujung anterior untuk mendinginkan air yang berasal dari ventilasi hidrotermal sehingga suhunya mencapai 30-60C.
Pencampuran air laut yang dingin dan kaya oksigen dengan air panas dari ventilasi hidrotermal yang panas dan kaya sulfida di dalam tabung akan menyediakan habitat yang ideal untuk mikroorganisme episimbion pada permukaan punggung cacing. Mikroorganisme tersebut digunakan untuk mereduksi bahan kimia seperti hidrogen sulfida, metana, dan pengikatan karbon. Bakteri yang berasosiasi dengan epidermis dorsal Alvinella pompejana beragam secara morfologis dan metabolik.Â
Sekitar 80% dari komunitas epibiotik ini adalah epsilon protoebeteria. Bakteri epibiotik tersebut menggunakan senyawa anorganik dari cairan ventilasi dan senyawa organik yang dikeluarkan oleh panas. Sebagai imbalannya, cacing mendapat senyawa organik terlarut yang dihasilkan oleh bakteri terkait.
Selain itu, bakteri episimbion tersebut dapat memberikan perlindungan dari lingkungan bersuhu tinggi. Selain bersibiosis dengan mikroorganisme, cacing pompei juga memiliki extracellular matrices (ECMs) yang berfungsi sebagai penghalang pertama untuk perlindungan dari kondisi eksternal. ECM mengandung beberapa protein structural contohnya kolagen.
Alvinella pompejana adalah spesies gonochoric yang menunjukkan dimorfisme seksual. Rasio jenis kelamin jantan dan betina mereka kira-kira 1 : 1. Jantan memiliki sepasang tentakel peribukal yang berkembang dengan baik, yang tidak dimiliki betina. Sistem reproduksi betina Alvinella pompejana terdiri dari oviduk dan rongga selom. Oosit terdapat di rongga selom betina dan juga sering ditemukan di saluran telur. Oviducts agak berbentuk U dan biasanya lebih kecil dari spermiducts.Â
Alvinella pompejana tidak bereproduksi secara serempak. Hal tersebut menjadi strategi adaptasi cacing Pompeii untuk merespon gangguan lingkungan yang fluktuatif. Perkembangan embrio Alvinella pompejana terjadi pada suhu rendah (2 C) karena embrio tidak dapat bertahan hidup pada suhu tinggi. Oleh karena itu, daerah bersuhu rendah di permukaan koloni dewasa menyediakan habitat yang sesuai untuk perkembangan embrio.
Daftar acuan:
Bir, J., M.R. Golder & S.M.I. Khalil. 2020. Adaptation in extreme underwater vent ecosystem: A case study on Pompeii worm (Alvinella pompejana), International Journal of Fauna and Biological Studies 7(3): 25 -- 32.
Di Meo-Savoie CA, Luther III GW, Cary SC. 2004. Physicochemical characterization of the microhabitat of the epibionts associated with Alvinella pompejana, a hydrothermal vent annelid, Geochim. Cosmochim. Acta 68: 2055 -- 2066.
Van Dover C. 2000. The ecology of deep-sea hydrothermal vents, Princeton University Press.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H