GURU TAK BERTUAN
Oleh: Inna Dalilah
Bagai di telan gelapnya malam, tiba-tiba sekelilingku terasa hitam. Pembicaraan bu Dina kepala sekolahku membuat aku tersentak kaget. Sekolah kami akan kedatangan Guru Tidak Tetap (GTT) yang di SK-kan oleh Dinas Pendidikan. Itu pertanda buruk bagiku, karena kedudukanku akan tergeser di sekolah ini. Oh... membayangkannya  saja aku sudah tak sanggup, karena ini semua berarti aku tidak lagi bekerja di sekolah ini menjadi seorang guru. Sementara aku sudah terlanjur mencintai lingkungan kerjaku.
Kupandang wajah Bu Dina, kepala sekolahku yang selama ini kuanggap seperti ibuku, karena beliau sebaya dengan ibuku yang berada di kampung halamanku, kota Padang. Ibuku juga seorang guru. Aku pindah ikut suamiku ke kota ini. Sesekali Bu Dina menoleh kearahku. Akhirnya beliau berkata kepadaku.
"Bu Dewi, ibu jangan bersedih dulu. Meskipun ibu tidak menjadi guru kelas lagi, karena kedudukan ibu sudah  diisi oleh guru GTT, tapi ibu tetap akan saya pertahankan di sekolah ini, sebagai guru ekstrakurikuler pramuka,  dan pelatih OSN. Gaji yang ibu terima bahkan lebih banyak daripada menjadi guru kelas."
Aku tertunduk dalam. Tak satupun kata terucap dari bibirku. Air mata hampir saja jatuh ke bumi. Pertahananku hampir jebol, tapi kugigit bibirku kuat-kuat. Aku harus terlihat tegar, meski sebenarnya hatiku tersayat-sayat. Apa kata orang kalau tahu aku sekarang tidak menjadi guru kelas lagi?
Keesokan harinya aku, Bu Suci dan Pak Heri dipanggil oleh kepala sekolah.
"Bu Dewi, mulai bulan depan, ibu tidak lagi menjadi menjadi guru kelas VI. Saya pribadi sebenarnya keberatan kalau harus kehilangan ibu, tapi saya tidak dapat berbuat banyak. Kami masih sangat memerlukan bantuan ibu. Saya minta ibu bersabar. Saya akan usahakan agar ibu tetap berada di sekolah ini, meski hanya menjadi guru ekstrakulikuler. Saya tidak berani menolak kedatangan tiga orang GTT Â ke sekolah kita karena itu sudah ketentuan dari atasan. Untuk Bu Suci, saya letakkan sebagai tenaga Perpustakaan, sedangkan pak Heri saya kembalikan menjadi guru Mulok Bahasa Inggris. Kira-kira bagaimana pendapat kalian," berkata bu Dina penuh karisma.
Aku tertunduk lesu. Aku tidak memikirkan honor yang konon lebih besar ketimbang menjadi guru kelas. Tapi bagiku kedudukan sebagai guru kelas lebih berharga. Aku berharap suatu saat nanti aku akan diangkat menjadi guru tetap lewat PPPK. Apa yang harus aku lakukan? Sementara Bu Suci dan Pak Heri sudah menyatakan bersedia dengan tugas yang baru.
"Maaf bu, beri saya kesempatan untuk berpikir," jawabku hampir tak bersuara. Aku tertunduk dalam-dalam. Rasanya aku ingin berteriak melepaskan beban yang mengganjal di dalam hati. Terbayang wajah kedua anakku yang masih memerlukan biaya buat sekolah, sementara suamiku setahun lagi akan pensiun. Sudah dua kali aku mengikuti test untuk menjadi guru GTT di kotaku, tapi aku selalu gagal. Sementara aku sudah berkorban jiwa raga untuk ikut penyetaraan S1. Usiaku juga mencapai titik terakhir batas ikut test PNS.