Mohon tunggu...
Rinnelya Agustien
Rinnelya Agustien Mohon Tunggu... Perawat - Pengelola TBM Pena dan Buku

seseorang yang ingin menjadi manfaat bagi sesama

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Pilihan

Sociopreneur bersama Ramdani Sirait di "Selasar"

16 Maret 2017   14:04 Diperbarui: 16 Maret 2017   14:07 220
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Humaniora. Sumber ilustrasi: PEXELS/San Fermin Pamplona

Setelah Selasar 1 bersama bang Andi Malewa, founder Institut Musik Jalanan membahas relawan dan gerakan sosial, selanjutnya  Selasar (sharing pengalaman di lorong pasar) kedua membahas mengenai sociopreneur bersama bang Ramdani Sirait, yang biasa dipanggil bang Dani. Sociopreneur adalah suatu bisnis dalam bentuk perusahaan (bukan LSM) yang mampu memecahkan masalah social yang terjadi di neglected area (area yang terabaikan). 

Karena core-nya adalah bisnis maka tujuannya memang untuk mencari keuntungan. Perbedaan yang jelas dari bisnis sosiopreneur adalah orang orang yang ada di lingkungan sekitar bisnis itu tidak hanya sebagai pekerja tetapi juga punya saham (dalam hal ini turut serta dan juga ada bagi hasil). Begitu pemaparan dari bang Ramdani Sirait di Selasar 9 Desember 2016. Selasar adalah salah satu kegiatan di ruang baca Pena dan Buku yang berlokasi di Pasar Klandasan blok I123-124 Balikpapan Kalimantan Timur. 

Kalau mendengar kata sosiopreneur, yang terlintas di pikiran adalah kegiatan social yang bisa mendapatkan keuntungan. Menurut bang Dani, keywordnya adalah neglected area, harus melakukan sesuatu di daerah yang terabaikan, bisa pada komunitas yang terabaikan, pada lahan yang terabaikan. Atau mungkin hati yang terabaikan. Ups.  

Bang Dani mencontohkan seorang tokoh bernama Silverius Onte (Onte singkatan dari orang NTT). Silverius berhasil menyatukan suara masyarakat yang sempat terpecah belah oleh cukong, akhirnya bisa terhimpun menjadi satu melalui wadah Koperasi Hutan Jaya Lestari Indonesia (KHJLI). Di KHJLI, ia mengajak mengelola hutan jati dengan cara lestari yang diatur melalui koperasi. Pada kasus ini, maka neglected areanya adalah warga pemilik hutan jati. Karena selama ini mereka tidak diberikan edukasi mengenai lingkungan hidup. 

Dan inilah yang dimanfaatkan oleh para cukong untuk membeli kayu jati mereka dengan harga murah. Silverius memberikan edukasi kepada mereka mulai dengan mendirikan radio swara alam, hingga stasiun TV untuk memberikan kesadaran bahwa pembalakan liar akan merugikan di kemudian hari. Melalui perjalanan panjang 10 tahun, akhirnya sekarang kayu jati warga dihargai dengan 6,4 juta/kubik yang sebelumnya 600 ribu/kubik. Kemudian kayu jati mereka disertifikasi oleh forest steward council. Kalau dari penjelasan bang Dani inilah yang namanya communal enterprisesatau badan usaha masyarakat.

Bang Dani mencontohkan kasus lainnya yaitu House of Lawe (HOL) yang didirikan oleh Adinindyah yang idenya dari kain lurik yang biasa digunakan oleh kalangan abdi dalem dan buruh gendong menjadi karya seni yang bernilai tinggi. Di tangan HOL kain lurik menjadi bahan yang keren dan indah. Warna yang biasanya didominasi gelap menjadi lebih cerah.  HOL ini pekerjanya hampir kebanyakan perempuan karena memang salah satu dari misinya yaitu pemberdayaan kaum perempuan. Inilah neglected areanya, yaitu kaum perempuan.

Dalam penyampaian materinya, bang Dani sedikit menyinggung mengenai U theory, yang dikaitkan dengan sensing alias merasakan kebutuhan social. Untuk mencapai sensing, memang harus tinggal di area yang neglected itu entah itu sebulan atau bahkan setahun. Karena fungsi dari sosiopreneur adalah memecahkan masalah neglected area. Noted!!. Energi akan mengikuti apa yang kita perhatikan, sehingga kita harus focus ke apa yang  kita ingin wujudkan.

Bang Dani juga menjelaskan bahwa CSR merupakan bentuk tanggung jawab perusahaan terhadap masyarakat yang terkena dampak langsung dari perusahaan. CSR sebenarnya harus berdampak terhadap sebuah perubahan bagi kawasan di sekitar perusahaan bukan sekedar donasi A donasi B. Tetapi bagaimana ada sebuah perubahan yang sifatnya konsisten dan keberlanjutan. Sedangkan sosiopreneur ini adalah gabungan atara CSR dan LSM. Sifatnya harus berkelanjutan.

Era wisata yang sedang menjamur juga bisa dimanfaatkan dengan community based tourism, dengan menempatkan masyarakat pedalaman harus jadi subjek bukan sebagai objek seperti yang terjadi selama ini. Menjadi bahan tontonan turis karena ketertinggalan mereka dari dunia modern, menjadi materi cerita sedih yang dibangun dan dibumbui oleh traveler yang mudah iba dan haus like di medsosnya. Namanya juga turis kan berarti pengunjung, ya tuan rumahnya berarti adalah warga daerah setempat. Dimana bumi dipijak disitu langit dijunjung. Jadi ingin mengutip pernyataan bang Iqin (Koord WALHI Kaltim) saat Selasar 4  “ ndak usah juga dateng bagi bagi makanan instan dan pakaian ke mereka, mereka sudah bahagia dengan keadaannya, makan singkong makan sagu memang itu makanannya. Tidak pakai baju ya memang begitulah mereka”. Kalau kata Bang Andi Malewa, founder Institut Musik Jalanan (narasumber Selasar 1) “mereka (penduduk local) itu udah bahagia, yang gak bahagia itu lu”. Bahagia itu urusan hati bukan urusan penampilan begitulah intinya.

Di penutup Bang Dani menekankan bahwa  berbisnis itu  harus yang baik, baik itu ke manusia maupun ke planet (lingkungan) tempat kita tinggal. Salam kebaikan !!!

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun