Mohon tunggu...
Tri Damayantho
Tri Damayantho Mohon Tunggu... Konsultan - Sementara WFH di Madiun

Applied Generalist, Creative Industri Enthusiast, concern with education, history, and science.

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Pilihan

Budaya, Bahasa, Lingkungan dan Jakarta di “Mata” Mbah Sadiman

2 April 2016   16:00 Diperbarui: 3 April 2016   00:17 310
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

[caption caption="Malam Anugerah Kick Andy Heroes 2016 - growstaweb.com"][/caption]Lugu dan khas orang Jawa dengan kesederhanaan dan kepolosan yang tersaji di talk show Kick Andy pada siaran ulangan pada  Sabtu 2 April 2016 menjadi salah satu daya tarik tersendiri untuk menyimak talk show yang sangat tenar ini. Apa yang dilakukan oleh Mbah Sadiman adalah hal yang “sederhana”, adalah melakukan penanaman hutan mungkin bahasa kerennya adalah konservasi di desanya yang bernama Gali di daerah Wonogiri dengan luas hutan yang ditanaminya adalah 100 hektar selama 20 tahun.

Wong “edan” orang sekitar menyebut mbah Sadiman ini, hampir mengabaikan keluarga dan anak istri demi sesuatu yang dia percayai sebagai suatu pengabdian. Saya berpendapat, mbah Sadiman ini adalah salah satu filusuf hidup, karena apa yang dilakukannya benar-benar sangat menginspirasi, jika kita membandingkan dengan kondisi terkini di perkotaan, Mbah Sadiman ini mungkin makhluk langka. “Ngeyel” (istri saya yang asli Madiun, bilang ini adalah sifat khas orang Jawa) adalah salah satu senjata utama dari Mbah Sadiman dalam melakukan kegiatan konservasi tersebut. Ketika awal wawancara, saya menebak bahwa lahan yang beliau garap pastilah lahan Perhutani dengan bibit gratis dari Perhutani (Perhutani memang mempunyai program ini, saya tidak tahu apakah masih berlanjut) dan dengan upah dari Perhutan. Alangkah terkejutnya saya ketika Andy Noya mengemukakan dalam wawancara tersebut Mbah Sadiman menanam dan mencari bibit dengan swadaya dan tanpa bantuan pemerintah dan dilakukan sejak tahun 1996. Dua puluh tahun kemudian, Mbah Sadiman duduk di acara Talk Show dengan rating tertinggi di Indonesia dan ketika ditanya perasaannya mengenai penobatan sebagai Kick Andy Heroes, dia menjawab biasa saja.

“Hal yang biasa” adalah sesuatu yang sering dan bisa semua orang lakukan, saya merasa hal ini yang menyebabkan Mbah Sadiman merasa biasa saja, karena apa yang dia lakukan memang biasa saja, dalam waktu yang biasa saja, di daerah yang biasa saja dan melakukan apa yang dia pikir memang perlu dilakukan, biasa saja, tapi tidak banyak orang yang mau melakukan itu, mungkin karena tidak ada nilai ekonomis buat mereka, mungkin karena mereka tidak paham mengapa perlu melakukan itu. Tapi, apa yang dilakukan oleh Mbah Sadiman sangat luar biasa buat kita yang tinggal diperkotaan. Saya sempat terheran-heran ketika acara penganugerahan Kick Andy Award, Mba Sadiman yang “lali” mau pidato apa, akhirnya memutuskan untuk menyalami para hadirin undangan yang notabene adalah pejabat penting negeri ini, seperti Wakil Presiden, Menteri, Gubernur, budayawan dan pejabat lainnya, yang mungkin untuk pandangan orang kota adalah aji mumpung untuk bisa salaman dengan pejabat, kapan lagi khan?

Semua undangan yang disalami oleh Mbah Sadiman berdiri dan bersalaman dengan beliau dengan wajah ramah dan mungkin sedikit geli dengan kepolosan si Mbah ini. Andy Noya (yang pastinya orang detail, perfect dan mungkin galak) sampai menyebut bahwa Mbah Sadiman mengacaukan acara tersebut, dan tentunya Andy Noya tidak marah, geli dan maklum akan kepolosan si Mbah. Dalam benak saya muncul pemikiran apabila kita bekerja sampai kita tidak perlu memperkenalkan diri lagi dan memiliki kepolosan seperti si Mbah, apa yang kita lakukan di atas panggung adalah benar, walaupun salah. Orang akan respek (terhadap apa yang kita lakukan) dan orang akan maklum, karena kepolosan menjadi komoditi langka di negeri ini.

Mbah Sadiman dan Bahasa

Dalam Pengantar Bahasa Inggris, di Buku Susan Blackburn “Jakarta, Sejarah 400 tahun” menyebutkan Jakarta merupakan salahsatu segelintir kota yang sebagian besar penduduknya berbahasa Indonesia sebagai sarana komunikasi sehari-hari. Di daerah-daerah lain, bahasa Indonesia hanyalah bahasa resmi yang digunakan di sekolah dan di acara formal. Mayoritas orang Indonesia berbicara dalam bahasa daerah masing-masing, baik itu bahasa Sunda, Jawa, Bali atau salah satu dari seratus lebih bahasa yang ada di nusantara.

Bahasa merupakan salah satu alat komunikasi, salah satu alat untuk menuangkan pemikiran, menyampaikan pesan dan apabila seseorang tidak menguasai bahasa yang digunakan, nisacaya dia akan kesulitan dalam menyampaikan pesan yang dimaksudnya. Mbah Sadiman adalah contoh yang tersaji dengan jelas, betapa sulitnya dia mengungkapkan pikirannya dalam bahasa Indonesia dan puluhan ribu audiens yang menyaksikan acara tersebut dan saya yakin sebagian besar merasa geli atas kelakuaan si Mbah di atas panggung.

Saya setuju, kepolosan memang mengundang tawa, saya menginstropeksi lebih jauh kenyataan diatas panggung tersebut. Apakah si Mbah memang polos? Orang yang dengan sadar melakukan reboisasi hutan selama 20 tahun dengan luas 100 hektar, memberi label ditiap pohon yang ditanami dan apresiasi Kick Andy Heroes dianggap hal yang biasa saja, saya pikir tentu tidak. Si Mbah memiliki kepolosan menurut orang-kota-yang-naif. Kepolosan yang tampak di acara tersebut mungkin diakibatkan oleh terbatasnya penguasaan bahasa Indonesia yang dimiliki, saya membayangkan apabila si Mbah diberi kesempatan wawancara dengan bahasa ibunya, yaitu bahasa Jawa, saya yakin, audiens akan melihat Mbah Sadiman yang percaya diri dan penuh keyakinan akan apa yang dia lakukan, dan kita melewatkan kearifan 20 tahun yang bisa disampaikan oleh si Mbah apabila dia menggunakan bahasa Jawa, dan tentunya produser acara perlu effort lebih untuk menyediakan penerjemah untuk audiens, tentunya bukan hal yang sulit, tapi kita kehilangan kesempatan itu.

Bahasa Indonesia adalah bahasa sakral untuk kita, juga bahasa pemersatu. Tapi tidak semua harus di-Bahasa-Indonesia-kan, khususnya untuk bahasa daerah, yang mana menurut UNESCO, dari 300 bahasa daerah, ada 100 bahasa yang terancam punah. Bahasa daerah bukanlah komoditas konservasi, jadikanlah bahasa tersebut menjadi alat komunikasi sehari-hari sejajar dengan bahasa Indonesia, karena bahasa menunjukan sifat, ciri dan lingkungan dari suatu daerah, dan dari sanalah pemikiran yang akan muncul, kearifan yang akan muncul. Andy Noya sudah memberikan contoh fasihnya dia dalam bahasa Jawa, walau bukan asli Jawa, sayang sekali Andy Noya tidak meneruskan wawancara tersebut dalam bahasa Jawa, yang mana akan sangat membantu si Mbah.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun