Sore menjelang senja. Peldatari I merangkak membelah Danau Toba, meninggalkan Tomok, kembali menuju Prapat. Udara cerah. Angin berhembus kuat. Terdengar gemuruh mesin kapal yang terseok mendorong untuk segera sampai ke tujuan. Tapi, kurasa gemuruh itu tak mampu menyaingi gemuruh di dadaku yang menyimpan aneka rupa rasa. Perpisahan ini justru menumbuhkan tunas-tunas kerinduan. Dan jarak nan terbentang kini di belakang kian menghadirkan gelisah dan risau.
Kuburan tua Raja Sidabutar, Patung Si Gale Gale dan Pelabuhan Tomok yang tak terawat bagai sebuah kenangan panjang satu fragmen kehidupan dua anak manusia. Dia yang tersenyum manis sembari melambaikan tangan saat melepas kepergianku membuat dadaku kian berdegup kencang.
" Bila sampai di Padang, nyanyikan juga senandung yang sering kita dendangkan bersama. Aku kira ia dapat dijadikan obat. Aku juga akan melakukan hal demikian. Bila dada ini sesak oleh kerinduan !"
Kata-kata yang tak akan pernah kulupakan. Terlontar dari mulut perempuan yang paling kusayangi itu.
" Kehidupan bagai sebuah misteri yang akan tetap menjadi misteri sampai kita mati. Antara ada dan tiada. Kepergian dan kedatangan, merupakan keputusan alam !"
Selalu kubisikkan kalimat itu ditelinganya, untuk mengibur dirinya dan menenangkan hatiku.
" Kuminta do'amu. Semoga perjalanan ini ibarat langkah harapan ke masa depan. Pilihan terbaik buat kau dan aku !"
" Jangan ragukan pilihan yang telah ditetapkan. Aku yakin kau akan mendapatkan apa yang kau inginkan," begitulah caranya menyemangatiku. Suaranya berat dan pasrah, tapi dicobanya untuk tabah.
Kuusap dahiku sembari merapikan rambutku yang kusut dipermainkan angin. Pelabuhan Tomok kian jauh tertinggal. Gelombang danau sedikit menahan laju kapal. Sebuah kapal lain dari arah yang berlawanan berselisih di lambung kanan Peldatari I. Beberapa puluh meter. Sayup terdengar alunan lagu berirama dangdut diputar.
Getar-getar aneh mengalir dari tangannya ketika kupegang lima malam sebelumnya. Semakin meluluhkan hatiku. Kenapa baru sekarang gelora itu membara. Betulkah cinta tak terhalang waktu dan ruang ? Kenapa cinta itu baru kini kurasakan. Kenapa ? Pertanyaan yang mendera.
" Aku juga tak habis pikir. Kita sama tahu, bahwa hubungan ini tak pantas kita lakukan, " ia mengaku tulus.
" Ya, " jawabku, " tapi kita tak perlu memikirkannya. Malah akan menghadirkan penyesalan dan rasa bersalah. Namun yang jelas, kehadiranku di tengah kalian telah ikut berperan melunturkan arti sebuah kesetiaan. Aku tak mungkin bisa mengingkari rasa ini, " paparanku seakan sebuah keluhan.
Hewan-hewan malam terus berpesta dengan musik malamnya. Angin danau terus bertiup tak henti.
" Kita sama-sama tak tahu dan tak punya daya untuk mendustai hati kita masing-masing. Kenyataan yang menyulitkan. Aku kawin dengan lelaki lain, sementara cintaku padamu terus tumbuh merekah."
" Menyakitkan, memang. Akupun kurang berani dalam mengambil keputusan."
" Aku tak menyalahkan kau. Aku menyesali diriku sendiri yang tak punya kekuatan menolak keadaan."
" Ketidakberanianku melamarmu telah merubah suasana jadi lain," aku terus memaksakan diri. " Sudah larut. Lagian tak enak dilihat orang. Kita pulang !" ajakku setelah beberapa waktu kesunyian menyelimuti kami.
Kehadiran suratnya telah menyeretku tenggelam pada masa lalu. Suratnya memancingku untuk kembali merekat lembaran-lembaran sketsa Pelabuhan Tomok. Terlebih pada Peldatari I yang telah tenggelam.
Saoben !
Aku melanjutkan bacaan.
Ketidakmampuanku melupakanmu, telah merubah statusku menjadi janda. Aku telah bercerai. Tapi, kau tak perlu cemas. Aku tidak menuntut agar kau mengawini aku. Ketulusan cinta yang pernah kau berikan selama ini telah memberiku ketabahan dan memantapkan hatiku untuk menghayati sebuah prinsip; cinta tak untuk dipaksakan kehadirannya ...
Aku berhenti sejenak. Ada keharuan menyelimuti. Kembali Pelabuhan Tomok melintas di mataku. Ilusi dan kesadaran bercampur aduk. Bak sinetron. Kulihat dia duduk merenung sendiri di ujung dermaga. Tatapannya jauh ke seberang. Kelihatan olehku seolah dia meneteskan air mata. Kugelengkan kepala, kuingkari ilusiku. Tidak ! Dia bukan perempuan lemah. Dia pasti mampu bertahan dan keluar dari masalahnya.
Ben ...
Menangis, bukanlah jalan keluar. Tapi itu kini sering kulakukan. Memang tak pantas kukadukan kedukaanku pada orang lain. Namun, kau bukan orang lain dalam kehidupanku. Sepertinya, dengan mengatakan segala sesuatunya padamu, aku telah mengurangi beban batinku. Kuingat kini segala cerita-ceritamu dan semua kata-kata yang pernah kau ucapkan padaku dulu. Terlebih tentang bagaimana kita harus menyikapi hidup ini. Kehidupan adalah untaian dari satu masalah ke masalah lain. Itu kutemui kini.
Ben ... kini aku telah pindah rumah. Aku kini bekerja, mencari nafkah. Aku mesti menghidupi kedua anakku. Keduanya perempuan. Aku berharap, masa depannya tak seburuk aku. Keduanya cantik-cantik. Nanti, kalau kau setuju, akan kukenalkan mereka pada kau.
Aku tak ingin melanjutkan bacaanku. Segalanya menjadi terang dan kian jelas. Tubuhku panas dingin. Hujan yang tak kunjung datang menyirami Kota Padang membikin aku semakin gerah dan sesak napas. Aku mesti pulang, ada bisik lain dari sudut hatiku. Pulang ke Tomok.-
Catatan : Cerpen ini telah dipublikasikan 27 September 1997 di sebuah media cetak ibukota (Penulis).
mengingat rekan-rekan sesama peserta Diklat Daspen I Medan, Dewi M. Nasution, Dom Dom R. Sihombing, Tengku Erlina, S. Damanik, T. Manik, L. Rumahorbo, dan lain-lain yang tak tersebut nama. semoga kelian selalu terkabar sehat dan bahagia ... :)
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H