Hujan turun deras sejak dini hari, membasahi tanah yang konon kaya akan nikel dan janji kesejahteraan. Air mencari jalannya sendiri, turun dari perbukitan, melewati areal tambang, menyapu jalanan, lalu mengalir entah ke mana. Namun, sebelum air benar-benar surut, sudah ada yang lebih dulu "tenggelam" dalam narasi bencana: benak masyarakat dipenuhi dengan narasi-narasi provokatif dari aktivis-aktivis muda yang sedang giat membranding reputasi."
Rumah-rumah warga dikepung air!" "Ladang-ladang mereka tergenang lumpur!" teriakan itu menggema lebih kencang dari suara hujan. Masyarakat umum pun bereaksi, bukan karena semuanya melihat sendiri, tetapi karena perasaan meraka dipenuhi dengan opini-opini berkemas suara nurani. "Ini ulah tambang!" seru mereka, dengan semangat yang tak kalah deras dari hujan semalam. "Dulu tidak pernah begini!" tambah yang lain, meski mereka tahu bahwa peristiwa serupa yang jauh lebih besar dari kali ini pernah terjadi dan dapat terselesaikan dengan baik .
Perusahaan tak tinggal diam. Dengan sigap, para professional merilis berita pers. "Kami sudah mengecek, ini bukan karena tambang," ujar perwakilan perusahaan dengan percaya diri. "Curah hujan sangat tinggi, bahkan mencapai 137,2 mm. Itu faktor alam, bukan aktivitas kami."
Tapi provokasi sudah terlanjur bekerja. Sebagian masyarakat terhasut, sebagian lagi bingung, sementara perusahaan pun terbakar emosi.
"Kalau begitu, kenapa airnya mengalir dari sana?" tanya seorang warga, yang lebih mengulang ucapan orang lain daripada menyaksikan sendiri. Perusahaan pun tak mau kalah. "Itu karena sistem drainase jalan yang tersumbat akibat aktivitas masyarakat itu sendiri," balasnya tak kalah provokatif, seolah perusahaan itu mustahil punya andil.Dan begitulah siklus ini terus berjalan. Air banjir telah surut dan alam kembali tenang seperti biasa, tapi gelombang kecaman semakin tinggi. Mereka yang tadinya tenang, kini ikut bertikai. Narasi terus bertumbuh, lebih deras daripada hujan yang menjadi penyebab sesungguhnya. Banjir air telah reda, tapi banjir kecaman tampaknya masih akan berlangsung lama, karena bagi sebagian orang, provokasi dinikmati lebih deras dibanding banjir.
Padahal, bukankah lebih baik jika semua pihak sadar diri, bahu membahu menjaga lingkungan sambil bersama-sama bersiap menghadapi ancaman-ancaman "bencana" yang lebih besar?
Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana
Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI