Dunia menawarkan sinar gemerlap yang sangat menggoda. Sampai kadang kita lupa bahwa semua hanyalah permainan. Fana. Sementara. Bukan segalanya. Tak pernah ada pencapaian apapun yang mengalahkan hakikat hidup itu sendiri: menghargai kehidupan.
Saya pernah membaca sebuah teks yang sangat mengena. Bunyinya kira-kira seperti ini: banyak orang bekerja keras mengejar karir tinggi dan harta melimpah-ruah. Tetapi di masa tuanya semua uang itu habis untuk mengobati penyakit yang menggerogoti. Akhirnya mati tak membawa apa-apa, justru meninggalkan keluarga yang merasa terlalu singkat merasakan kebersamaan dengannya.
Hmmm... mungkin benar kadang kita lupa bagaimana caranya menikmati hidup. Orangtua yang alpa menyempatkan berlibur dengan anaknya, karyawan yang tak pernah mau mengambil cuti, pelajar yang memenuhi jadwal dengan aneka macam les, anak yang kesulitan menemukan waktu untuk sekadar menyapa Bapak-Ibunya yang kesepian menjalani masa tua termangu-mangu.
Banyak alasan yang membuat kita tanpa sengaja dan tak sadar mencampakkan sisi manusiawi dari hidup kita. Keadaan ekonomi, tuntutan pekerjaan, juga lingkungan yang buruk. Kepribadian yang kuat seringkali tak menjamin kita bisa melawan pengaruh buruk.
Contoh lingkungan buruk yang sangat mempengaruhi para penghuninya adalah Kolombia. Salah satu negara Amerika Latin yang tergolong termiskin ini penuh dengan kisah tragedi soal bagaimana sulitnya bertahan hidup. Perkelahian, baku tembak, penculikan pun pembunuhan seperti menjadi hal yang wajar dalam selubung persaingan antar kelompok kartel yang mendominasi negeri itu.
Kisah pilu yang bahkan sampai terbawa-bawa sampai ke persoalan yang sangat sepele: sepakbola! Dua puluh tahun dua hari yang lalu, Andres Escobar ditembak mati selepas menghabiskan malam di sebuah bar. Sebuah kematian yang dihubungkan dengan gol bunuh diri yang dicetaknya ke gawang Kolombia saat kalah dari tuan rumah Amerika Serikat di Piala Dunia 1994.
Andre Escobar, kapten tim saat itu, dianggap bertanggung jawab atas kegagalan generasi emas Kolombia yang diperkuat nama-nama setenar Carlos Valderrama, Fredy Rincon dan Oscar Cordoba. Berangkat dengan predikat kuda hitam yang diprediksi bakal membuat banyak kejutan, akibat gol bunuh diri itu Kolombia pulang dengan kepala tertunduk sebagai pecundang.
Tak mudah bagi Jose Pekerman membangkitkan sepakbola Kolombia yang mati suri. Bagaimana mungkin membuat para pemainnya mau tampil mati-matian jika terancam dieksekusi secara brutal saat membuat blunder? Dia sendiri mengawali karir dengan menuai banyak kritik dari media yang menganggapnya sebagai pelatih asing dengan bayaran terlalu mahal yang tak bisa apa-apa.
Pertama-tama yang dilakukannya adalah mengembalikan keberanian memberikan yang terbaik untuk tim nasional, membawa kebebasan mengekspresikan diri saat bermain dan terutama menghadirkan alasan menikmati kebahagiaan berjuang bersama sebagai tim dalam segala cuaca.
Tampil apa adanya tanpa beban sebagai sebuah unit, Los Cafeteros – julukan Kolombia, justru tampil menggila sebagai juara Grup C mengalahkan Jepang, Pantai Gading serta Yunani. Dan, mencetak sejarah lolos ke perempatfinal dengan mengandaskan perlawanan tim yang lebih favorit, Uruguay.
James Rodriguez menjadi simbol kebebasan bermain dengan perannya sebagai playmaker yang sangat mobile menjelajah lapangan. Menyatukan seluruh tim ke dalam sebuah irama permainan yang memikat dan atraktif. Sebagian menyebut bahwa Kolombia lah yang justru mewarisi tradisi sepakbola indah Samba Brazil yang justru sama sekali tak terlihat dari tim tuan rumah.
Laga melawan Brazil yang sebentar lagi akan digelar menjadi bonus besar bagi pencapaian Kolombia yang diakui sudah luar biasa karena jauh melampaui ekspektasi. Tapi, ada hal lain yang lebih penting bagi Kolombia dalam laga ini selain hasil akhir, melainkan sebuah pesan akan kehidupan yang ingin dikumandangkan sekeras-kerasnya – khususnya bagi masyarakat Kolombia sendiri.
Saudara kandung almarhum Andres Escobar, Maria Ester dan Jose, sengaja diundang khusus untuk menghadiri laga Kolombia vs Brazil sebagai tamu kehormatan. Mereka akan mengenakan kostum nomor 2 dengan tulisan “Escobar” di punggung.
“Dua puluh tahun adalah waktu yang sangat lama tetapi masih terasa sedih jika mengingat hal itu,” kata Maria Ester. “Tapi saya memilih untuk berterima kasih dan bersyukur kepada Tuhan untuk memilikinya selama 27 tahun hidupnya bersama kami. Hidupnya memang sangat pendek, tetapi dia melakukan banyak hal penting dalam waktu sesingkat itu.”
Bahkan setelah tiada pun, Andres Escobar masih membawa pesan yang dibawa oleh kakaknya. “Orang-orang seharusnya menikmati sepakbola dengan sepenuh hati dan jiwa. Tapi, jangan pernah lupa bahwa itu hanyalah sebuah pertandingan. Kematian Andres harus menjadi pembelajaran kepada kita semua bahwa tidak ada tempat bagi kekerasan, apalagi kematian dalam sepakbola.”
“Sepakbola seharusnya menyatukan dengan pesan persaudaraan dan cinta. Kadang saya merasa lebih baik orang tidak mengingat Andres lagi karena itu sangat menyakitkan. Tapi, Andres pergi dengan meninggalkan kenangan dan pelajaran berharga sehingga wajar terus diperingati.”
Pekerman memang jenius. Dia tidak hanya mampu menutupi absennya Falcao dengan mengorbitkan James Rodriguez, mencetak sejarah lewat kemenangan-kemenangan spektakuler, tetapi juga menyatukan negerinya dengan pesan untuk lebih menghargai kehidupan.
Menang atau kalah melawan Brazil, hidup harus terus berlanjut... Tak ada yang perlu terlalu kecewa... Apalagi merenggut hidup orang lain akibat hasil akhir sebuah permainan...
Jangan sampai kita kelak menyesal mencapai sesuatu gilang-gemilang tetapi kemudian terlambat sadar telah kehilangan banyak hal yang kelihatannya sepele tetapi sesungguhnya sangat penting...
Tiba-tiba saya teringat istri saya yang sudah sekian hari dibiarkan sendiri tidur akibat sang suami keasyikan memelototi layar kaca menonton orang menyepak bola... Ah, tiba-tiba saya ingin memeluknya untuk mengatakan bahwa saya tak melupakannya...
[05/07/13 – mengingat kembali hal sepele yang telah banyak dilupakan...]
Ilustrasi : brasil2014.kompas.com
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H