Argentina Kalah Gara-Gara Brazil!
“Luar biasa nikmat melihat musuh abadi jatuh, terjengkang, terkapar! Meski hanya dari kejauhan, rasanya sama seperti memukul langsung. Terkadang sampai lupa bahwa dia bukan musuh kita yang sesungguhnya.”
oleh: angryanto rachdyatmaka / follow: @angrydebritto
Anda tak punya musuh bebuyutan? Rugi!
Lho kok? Karena Anda tak punya kesempatan merasakan nikmatnya melihat seseorang yang paling Anda benci menderita. Sungguh, luar biasa bahagia rasanya melihat rival kita menghadapi masa-masa terburuknya – apalagi di saat bersamaan kita sedang merasakan kejayaan.
Tapi, awas, saking asyiknya mentertawakan sang rival abadi, kita bisa jadi malah kehilangan perhatian dan fokus pada lawan yang sesungguhnya. Karena biasanya musuh bebuyutan itu datang dari masa lalu yang susah dilupakan, sementara banyak musuh-musuh baru berdatangan.
Terlalu fokus pada masa lalu dan melupakan apa yang ada di hadapan kita sangat berbahaya...
Sikap mental seperti ini sangat mungkin menyelusup dalam benak Argentina saat menjalani duel hidup-mati melawan Jerman. Euforia kekalahan Brazil 1-7 di semifinal bisa mengalihkan konsentrasi yang seharusnya full menyiapkan taktik terbaik menjadi setengah hati melepas emosi.
Jauh-jauh hari Le Albiceleste menyiapkan diri untuk menantang Brazil di Piala Dunia 2014. Tidak masalah di babak apa, yang penting bisa mengalahkan musuh abadinya itu. Kemenangan atas Selecao melebihi segalanya – mungkin termasuk trofi Piala Dunia.
Brazil dan Argentina sesungguhnya adalah tetangga dekat yang sangat bersahabat. Perdagangan antar kedua negara berlangsung lancar – meningkat 3 kali lipat dalam dekade terakhir, bahkan Pemerintah Brazil dikenal sangat mendukung sahabatnya itu dalam konflik Falkland, misalnya.
Tapi, semuanya berubah panas ketika masuk ke lapangan hijau. Pada tahun 1939, Argentina memutuskan walkout sebagai protes atas hukuman tendangan penalti yang diberikan oleh wasit. Brazil akhirnya memenangkan pertandingan setelah menendang bola dari titik putih ke gawang kosong. Tahun 1945 dan 1946, pertandingan diwarnai retak lutut pemain di kedua kubu, serbuan suporter ke lapangan dan perkelahian massal antara pemain dan polisi serta suporter. Tahun 1991, 5 pemain terkena kartu merah dan seorang pemain terkapar ketika kedua tim bertanding.
Perseteruan berlangsung di semua level. Klub elite kedua negara – Boca Junior dan Independiente (Argentina) serta Sao Paolo, Santos dan Flamengo (Brazil) – bergantian mendominasi Copa Libertadores. Kedua kubu terus terlibat dalam perdebatan abadi siapa pemain terbaik antara Pele dan Maradona atau kini beralih kepada Neymar dan Messi.
Diego Armando Maradona, legenda Argentina yang memeng kerap bersikap kontroversial, tak menutupi kegembiraannya saat mengomentari kekalahan Brazil yang dianggap sangat memalukan dari Jerman di semifinal. Bertugas sebagai komentator untuk sebuah stasiun televisi, dia terang-terangan mengejek tuan rumah.
Di kubu Argentina, kegembiraan juga meledak-ledak. Ribuan suporter Tim Tango merayakan kekalahan Brazil itu di jalanan, bersorak-sorai, berpawai, mengabarkan “kematian” Brazil. Sebagian emosi sudah terlanjur tertumpah melihat kesengsaraan musuhnya.
Diam-diam, sebagian target Argentina di Piala Dunia 2014 sudah tercapai: menyingkirkan Brazil. Meski bukan lewat kaki dan kepalanya sendiri, Argentina sudah merasa menang dengan mampu melaju ke final sementara Brazil bahkan kalah lagi 0-3 dari Belanda di perebutan tempat ketiga.
Mungkin inilah yang membuat pelatih Alejandro Sabella belum-belum seperti sudah memberikan kemenangan kepada calon lawannya di final, Jerman. “Jerman lebih favorit dengan kebugaran dan waktu istirahat lebih banyak satu hari. Kami kehabisan tenaga setelah memenangkan perang melawan Belanda sepanjang 120 menit,” katanya dalam konferensi pers.
Persiapan Argentina entah kenapa juga tidak terlalu banyak diwarnai semangat peperangan menghadapi salah satu musuh besarnya itu. Kekalahan tahun 1990 di final Piala Dunia seakan tak cukup mampu membakar gairah Messi dkk untuk bertarung sampai titik darah penghabisan.
Saat pertandingan, Higuain tampak jelas tidak siap, gugup dan kehilangan sentuhan terbaiknya. Bahkan seorang Lionel Messi sampai tiga kali membuang peluang emas yangs eharusnya sudah bisa memulangkan Piala Dunia ke negaranya. Argentina tak cukup punya amunisi dan bahan bakar untuk menghadang laju Panzer Jerman yang tadi tampil biasa-biasa saja tapi sangat efisien dan efektif.
Semua sudah habis di babak semifinal melawan Belanda. Terbuang percuma untuk euforia yang tak penting mereaksi kekalahan Brazil.
Kini giliran Argentina yang di-bully warga Brazil...
Itulah tidak enaknya mengejek musuh bebuyutan... Jika saatnya kita yang terjengkang, rasanya mungkin lebih sakit ditambah ejekan dari lawan...
[Mediterania, 14/07/14, lebih enak tidak punya musuh...]
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H