Sebagai anak rantau, Bagindo termasuk sukses. Mulai merintis dari gerobak kaki lima, kini dia sudah punya tempat sendiri. Telah enam tahun dia berada di kota ini, dan tahun lalu dia telah berhasil membawa Rosma, kembang di desanya untuk mendampinginya sebagai istri.
Entah darimana awalnya Bagindo tertarik dengan politik. Di rumah makannya TV selalu menyala, dan mayoritas berita, kecuali kalau Rosma yang menunggu, pastilah diganti infotaintment atau sinetron. Bagindo sendiri langganan koran, meski koran lokal yang tak mahal harganya.
"Uda yakin mau nyaleg?"
"Yakin lah Ros.."
"Apa tidak ditunda dulu? Lebih baik uang itu kita pakai membuka warung baru"
"Tenang Ros, Uda sudah perhitungkan. Uang itu pasti terpakai, tapi kalau menang, sebulan pun bisa dapat uang sebanyak itu"
Sepertinya memang Bagindo terpengaruh dengan tampilan para politisi di media. Baju rapi, wangi, perlente, pakai jas, bicara teratur, dompet tebal, rumah dan kendaraan mewah.Semuanya sangat memukau Bagindo yang hanya lulusan SMEA.
Ketika Sudin, teman sekampungnya menawarkan dia nyaleg, seperti gayung bersambut.
"Tapi aku kan bukan orang partai Din?"
"Ah, tenang sajalah. Semua bisa diatur. Kebetulan saya kenal dengan ketua pemenangan pemilunya. Dan memang partainya akan membuka lamaran"
"Syaratnya apa saja?"
"Ijazah minimal SMA, dan tentu kau harus siapkan uang pendaftaran. Dan satu lagi, jika ingin dapat nomor urut kepala, harus ada pengeluaran lebih"
"Hmm.. Baiklah, nanti ambo pikirkan dulu"
Dan resmilah Bagindo menjadi caleg. Setelah menyelasaikan administrasi, tes kesehatan dan sedikit upeti, ia ditetapkan menjadi caleg dengan no urut 3.
"Din, kenapa saya dapat nomor leher, kau janjikan kepala?"
"Itu lah masalahnya, uang yang angku setor masih kalah dari yang dapat nomor kepala. Tapi tenang sajalah, sekarang kan sistemnya suara terbanyak"
"Oh ya, sudahlah kalau begitu. Sekarang angku bantu saya bentuk tim sukses"
"Beres..pertama kita data urang awak yang ada disini, lalu...."
Obrolan pun berlanjut sampai dinihari.
Semenjak jadi Caleg, waktu Bagindo mengurus warung makannya jauh berkurang. Pagi sudah keluar rumah, menjelang sore pulang. Kemudian berangkat lagi. Apalagi kalau bukan untuk kampanye meraup suara. Semua orang Minang perantauan dikunjungi, tokoh-tokoh masyarakat didatangi, dan sebagainya. Untunglah dia punya seorang Rosma, yang begitu sabar menggantikan peran suaminya, bahkan untuk belanja bahan masakan.
"Da, uang modal kita menipis. Besok harus belanja lagi ke pasar"
"Hah? Habis? Kenapa cepat betul habisnya?" suara Bagindo sedikit meninggi.
"Kan Uda sendiri yang pakai. Beli kaos, stiker, uang bensin, belum lagi orang-orang yang datang ke rumah. Habis lah Da" Rosma berusaha tersenyum menenagkan situasi.
"Kau sabar sajalah dulu, Uda kan sedang berjuang. Habiskan sajalah yang ada. Seminggu lagi Pemilu. Kalau menang, beres semua itu" kata Bagindo meyakinkan.
Seperti biasa Rosma hanya bisa meringis sembari menarik napas panjang.
Suatu hari datanglah seseorang yang mengaku "orang pintar" bertamu.
"Pokoknya Pak Bagindo tenang saja. Bapak pasti menang, asal syaratnya dipenuhi.."
"Apa syaratnya?"
"Satu hari sebelum pencoblosan, saya akan bertirakat untuk Bapak. Saya hanya perlu foto bapak dan beberapa sesaji. Tolong Bapak beli ini" kata orang pintar sembari memberi secarik kertas.
"Da, bukan kah itu syirik?"
"Ini ikhtiar Ros, syirik atau tidak itu kan tergantung niat"
"Tapi Da, kalau sudah pakai sesajian begitu kan.."
"Alah! Sudah! Jangan pula kau ikut campur! Kalau berhasil, kau juga yang senang.."
Lagi-lagi Rosma hanya bisa menarik napas panjang. Teringat pesan Abaknya sebelum merantau, "Ros, dua hal yang harus kau jaga, jangan tinggalkan sholat dan jauhi syirik"
Abak Rosma, Buya Hamdi adalah guru sekolah Muhammadiyah di kampungnya.
Sampailah ke hari pencoblosan. Dengan penuh keyakinan, Bagindo menuju TPS. Segala usaha telah dikerahkan. Baik usaha yang kelihatan, maupun bantuan orang pintar. Uang pun sudah banyak dikeluarkan.
"InsyaAllah kita menang Ros" ucap Bagindo seusai mencoblos.
"Amin.." jawab Rosma singkat. Entah kenapa hari itu hatinya justru tak tenang.
"Selamat Gindo, suara Angku paling banyak! Berdasarkan penghitungan manual C1 dari saksi" kata Sudin menyalaminya.
"Alhamdulillah.." Bagindo sumringah. Spontan ia sujud syukur. "Ros..Ros..kesini! Uda berhasil! Uda berhasil!"
Malam itu rumah Bagindo menjadi ramai. Tim suksesnya berdatangan. Juga para tetangga yang jadi tahu ia menang. Semua mengucapkan selamat. Tak lupa Bagindo memberi tahu orang tua dan sanak saudaranya di kampung. Terbayang kursi empuk, yang didudukinya dengan setelan jas rapi dan sepatu mengkilap. Rencananya saat pelantikan nanti, orang tua dan mertuanya akan diundang menghadiri. Sementara Rosma tak henti-henti berzikir, entah kenapa hatinya gelisah.
Maka datanglah hari dimana KPUD menetapkan pemenang. Bagindo, didampingi beberapa tim sukses menunggu di rumah. Sementara Sudin mengikuti pleno.
Dan sesuatu yang mengejutkan terjadi. Namanya tidak disebut sebagai anggota terpilih.
"Curang! Ini pasti terjadi kecurangan! Din, kenapa ini terjadi? Kau bilang suaraku paling banyak. Tapi kenapa kalah?"
"Mereka main mata dengan KPPS dan KPU, sehingga hasilnya diotak-atik lagi. Yang menang itu kabarnya masih punya hubungan saudara dengan Bupati" jawab Sudin lemah.
Bagindo bertambah gusar.
Sebuah sms masuk. Rupanya dari ketua DPC partai yang mencalonkannya. "Saudara Bagindo, harap saudara menerima keputusan KPU meski tidak sesuai hitungan internal partai. Ini sudah diluar kuasa kami, kalau saudara melawan akan merugikan saudara dan keluarga. Salam "
Bagindo naik pitam. Badannya menggigil menahan amarah. Dia merasa dicurangi. Braakkkk!!!Dilemparnya HP, digebraknya meja tamu, ditendangnya kursi. Bagindo mengamuk sejadi-jadinya. Terbayang rasa malu kepada keluarganya dan orang kampung yang sudah mengadakan syukuran. Apa yang hendak dia katakan?Tiba-tiba kepalanya sakit luar biasa, bumi terasa berputar. Dunia menjadi padam, dan Bagindo terjatuh.
Pagi itu Bagindo terbangun. Dia tidak tahu sama sekali dimana berada dan sudah berapa lama di tak sadar. Melihat dinding yang didominasi warna putih, cairan infus dan hidung terpasang oksigen, barulah sadar bahwa ia sedang berada di RS.
"Uda! Alhamdulillah...uda sadar.." Terdengar suara yang begitu dikenalnya, Rosma.
Bagindo ingin berbicara, tapi dirasakan lidahnya kelu. Begitu berat untuk berucap.
"Uda..uda sudah 3 hari tidak sadar. Kita sedang di RS. Alhamdulillah sekarang Uda membuka mata.." Ros memegang tangannya sambil terisak.
"Aaa..rrrrr...sssss..."
Hanya itu yang keluar dari mulut Bagindo. Dicobanya bergerak tapi tangan dan kakinya sebelah kanan begitu lemah, seolah dia tak punya tangan dan kaki sama sekali.
Barulah dia paham setelah dokter datang menjelaskan bahwa ia terkena stroke. Teringat terakhir sebelum semua gelap, kemarahannya. Sakit hatinya dicurangi. Kembali dia ingin berteriak. Tapi yang keluar dari mulutnya hanya kata-kata yang tidak jelas. Akhirnya air mata lah yang mengalir deras. Bagindo menangis, meraung. Beberapa kali dokter dan perawat datang menenangkannya. Terkadang, mereka menyuntikkan sesuatu ketangannya, yang membuat matanya tiba-tiba menjadi berat.
Hampir satu bulan lamanya Bagindo dirawat di Rumah Sakit. Perlahan-lahan dia sudah mulai bisa jalan, meski dipapah atau menggunakan walker. Bicaranya pun mulai bisa dimengerti meski pelo. Dan Rosma, istrinya yang sholehah itu begitu setia dan sabar menunggunya, sekaligus mengganti perannya sebagai kepala rumah tangga.
Hari ini dokter sudah perbolehkan Bagindo pulang. Sesampainya di rumah, Rosma memapah Bagindo berjalan ke rumah makan. Di meja kasir, ia menggeser kursi.
"Duduk lah Uda. Inilah kursi Uda yang sebenarnya," kata Rosma.
Bagindo tersenyum kecut.Ia duduk. Barangkali Rosma benar, inilah kursinya yang sejati. Entah kursi di gedung dewan sana.
***
Keterangan :
Ambo : Saya
Angku : Kamu, ucapan pada sebaya
Urang Awak : orang Minang
Walker : alat bantu jalan penderita stroke
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H