Setiap membaca Al Kahfi, saya selalu takjub dengan cerita kegigihan Nabi Musa belajar kepada gurunya yang misterus ; Nabi Khidr. Berikut kisahnya,
Musa berkata kepada Khidhr: "Bolehkah aku mengikutimu supaya kamu mengajarkan kepadaku ilmu yang benar di antara ilmu-ilmu yang telah diajarkan kepadamu?" ( Al Kahfi : 66 )
Dia ( Khidr ) menjawab: "Sesungguhnya kamu sekali-kali tidak akan sanggup sabar bersama aku ( Al Kahfi : 67 )
Dan bagaimana kamu dapat sabar atas sesuatu, yang kamu belum mempunyai pengetahuan yang cukup tentang hal itu?" ( Al Kahfi : 68 )
Dengan penuh keyakinan Nabi Musa pun menjawab : Musa berkata: "Insya Allah kamu akan mendapati aku sebagai orang yang sabar, dan aku tidak akan menentangmu dalam sesuatu urusanpun." (Al Kahfi : 69 )
Setidaknya empat kali Khidr mempertanyakan kesabaran Musa jika berguru padanya. Dan Musa pun meyakinkan bahwa ia akan sabar. Tapi Musa gagal total!. Bagaimana mungkin bisa bersabar, jika tiba-tiba Khidr melobangi kapal, membunuh anak muda dan membetulkan rumah tanpa upah? Sangat logis dan manusiawi jika Musa protes atas “ulah” Khidr. Meski sebelumnya sudah ada kontrak kerja bahwa Musa tak boleh bertanya sebelum Khidr sendiri yang menjelaskan ( Al Kahfi 70 ).
Berkah tumbangnya Soeharto, semuanya bebas bicara. Di TV, Koran, radio, social media kata-kata berseliweran. Bising. Pengamat menjadi laku. Protes, kritik bahkan caci maki terhadap sesuatu menjadi biasa, meski keluar dari mulut orang yang tidak ada ilmunya.
Dua hari lalu ribuan dokter di seluruh Indonesia melakukan aksi keprihatinan. Sebagian ada yang menyebutnya sebagai aksi mogok. PB IDI menjelaskan dalam akun twitter dan web resminya bahwa aksi ini jangan menelantarkan pasien. Terutama pasien gawat darurat, persalinan, ICU, operasi cito dll.
Namun ternyata media lebih banyak memberitakan dampak negatif aksi tersebut. Justru substansi tuntutan tidak dibahas. Bahkan ada stasiun TV yang mewawancara pasien yang merasa ditelantarkan, tanpa cover both side RS lain yang tetap melayani pasien. Akibatnya banyak masyarakat memandang sinis aksi kemarin. Padahal mungkin ini baru pertama kali dalam sejarah IDI.
Di media juga, saya lihat ada juga politisi "Kucing Air" yang ikut mancing di kasus ini. Ada yang dengan lantang mengatakan bahwa dokter tidak boleh meminta uang muka ke pasien sebelum diobati. Tidak nyambung. Semiskin-miskinnya dokter, saya yakin 1000% tidak ada yang meminta uang dulu sebelum mengobati. Mungkin yang dimaksud anggota dewan ini adalah manajemen RS. Tapi itu kan bukan dokter yang memeriksa?. Tidak nyambung bukan?
Terlepas dari pro dan kontra aksi kemarin, kita kembali pada kisah Musa dan Khidr. Ada baiknya segala sesuatu kita pelajari dulu sebelum bicara. Apalagi seorang pejabat public yang gajinya berasal dari, termasuk pajak para dokter ini. Janganlah seperti Musa yang tidak sabaran. Bukannya solusi yang keluar, malah memperkeruh keadaan. “Serahkan saja kepada ahlinya”, kata Nabi Muhammad saw.
Di akhir perjalanan Khidr menjelaskan, bahwadia membolongi kapal untuk melindungi nelayan dari serangan raja bajak laut. Anak yang dibunuh itu dipastikan akan menyesatkan kedua orang tuanya jika dibiarkan hidup. Dan rumah yang direnovasi itu adalah punya dua anak yatim. Pelindung mereka sampai dewasa sehingga bisa mempergunakan harta peninggalan ayahnya yang disimpan di bawah rumah tersebut. Wallahualam
Blog : www.inisifani.wordpress.com
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H