Mohon tunggu...
Ini Salma
Ini Salma Mohon Tunggu... Duta Besar - Mahasiswa

travelling

Selanjutnya

Tutup

Ilmu Sosbud

Jejak Perjuangan K.H Abdul Wahid Hasyim: Tokoh Nasional yang Menginspirasi

27 November 2024   21:00 Diperbarui: 27 November 2024   21:08 10
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Ilmu Sosbud dan Agama. Sumber ilustrasi: PEXELS

K.H. Abdul Wahid Hasyim adalah tokoh nasional Indonesia yang dikenal atas kontribusinya dalam bidang keagamaan dan pendidikan Islam. Mengenal pahlawan yang pernah menjabat sebagai Menteri Negara dan juga menjabat sebagai Menteri Agama pada era orde lama. a adalah ayah dari presiden keempat, Abdurrahman Wahid dan anak dari Muhammad Hasyim Asy'ari, pendiri salah satu organisasi Islam terbesar di Indonesia, dan pahlawan nasional Indonesia.
Wachid Hasyim memiliki peran penting dalam mengembangkan pendidikan Islam di Indonesia. Sebagai Menteri Agama pertama di Indonesia, ia memelopori pembentukan kebijakan yang memperkuat posisi madrasah dan pendidikan Islam dalam sistem pendidikan nasional. Ia juga aktif dalam memperjuangkan integrasi nilai-nilai keagamaan dalam kebijakan negara yang baru merdeka, sekaligus mendorong toleransi antarumat beragama. Selain di bidang agama, Wachid Hasyim juga terlibat dalam perjuangan kemerdekaan Indonesia. Ia ikut mendukung proses persiapan kemerdekaan dengan berpartisipasi dalam Badan Penyelidik Usaha Persiapan Kemerdekaan Indonesia (BPUPKI), yang kemudian berperan dalam merumuskan dasar negara Indonesia.

Salah satu kontribusi terbesarnya yaitu ikut serta dalam merumuskan dasar negara untuk memanjukan bangsa yang berketuhanan yaitu terkandung pada sila yang juga beliau rumuskan, terutama sila pertama Pancasila. Pada awalnya, Piagam Jakarta, yang dibuat oleh Panitia Sembilan, berisi sila pertama, "Kewajiban Menjalankan Syariat Islam bagi Pemeluknya." Sila ini mewakili keyakinan sebagian besar anggota Panitia Sembilan yang beragama Islam. Namun, menjadi pertentangan dengan non-Muslim sehingga menolak rumusan tersebut, terutama mereka yang tinggal di wilayah Indonesia Timur seperti Bali, Maluku, dan Papua, di
mana mayoritas orang tidak beragama Muslim. Mereka khawatir bahwa penegakan syariat Islam hanya akan menguntungkan umat Muslim dan tidak akan memenuhi keyakinan yang berbeda di Indonesia. Penolakan ini menjadi salah satu kendala utama dalam mencapai integrasi nasional. Pandangan luas dan moderatnya Wahid Hasyim memahami masalah ini dan tidak ingin keberagaman agama menjadi sumber perpecahan di awal kemerdekaan. Akibatnya, Wahid Hasyim memainkan peran penting dalam mengusulkan perubahan pada rumusan sila pertama. Dia meminta "Ketuhanan Yang Maha Esa" sebagai pengganti kata "Kewajiban Menjalankan Syariat Islam bagi Pemeluknya." Tujuan dari usulan ini adalah untuk mempertahankan semangat religius di dasar negara. Itu berlaku untuk semua orang yang menganut agama apa pun di Indonesia, termasuk Islam, Kristen, Hindu, Buddha, dan agama lainnya. Dengan menggabungkan rumusan "Ketuhanan Yang Maha Esa", Pancasila berhasil menjadi dasar negara yang dapat diterima oleh semua golongan, tanpa mengabaikan peran agama dalam kehidupan bangsa Indonesia. Perubahan ini merupakan langkah penting dalam mencapai kesepakatan antara para pendiri bangsa. Hal ini juga mencerminkan kebijaksanaan dan wawasan Wahid Hasyim, yang mampu menyeimbangkan kepentingan umat Islam dengan kebutuhan untuk menjaga kerukunan agama di negara yang baru saja memperoleh kemerdekaan. Setelah kemerdekaan, beliau juga merupakan figur penting dalam pemerintahan Indonesia. Ia diangkat langsung sebagai Menteri Negara Republik Indonesia oleh Presiden Soekarno dari tahun 1945 hingga 1949. Setelah itu, ia menjabat sebagai Menteri Agama selama tiga periode kabinet yang berbeda. Ia pertama kali menjabat sebagai Menteri Hatta dari 20 Desember 1949 hingga 6 September 1950, kemudian menjadi Menteri Agama dalam Kabinet Natsir dari 6 September 1950 hingga 27 April 1951, dan terakhir ia menjabat sebagai Menteri
Sukiman dari 27 April 1951 hingga 3 April 1952. Sebelum pendudukan Jepang, Wahid Hasyim juga aktif dalam politik Islam. Pada tahun 1939, Nahdlatul Ulama bergabungdengan federasi partai dan organisasi Islam MIAI. Pada 24 Oktober 1943, Wahid Hasyim diangkat menjadi ketua Partai Masyumi (Majelis Syuro Muslimin  Indonesia. Dalam Muktamar Nahdlatul Ulama ke-19 yang diadakan di Palembang pada tahun 1951, Wahid Hasyim terpilih sebagai Ketua Umum Pengurus Besar Nahdlatul Ulama bersama Rais 'Aam KH. A. Wahhab Hasbullah.

Wahid Hasyim meninggal dunia pada 19 April 1953 akibat kecelakaan mobil di jalan antara Cimahi dan Bandung. Saat itu, ia sedang dalam perjalanan menuju rapat Nahdlatul Ulama di Sumedang. Kecelakaan terjadi karena mobil yang ia tumpangi tergelincir akibat jalanan licin setelah hujan deras. Wahid Hasyim meninggal di usia 39 tahun. Setelah kepergiannya, anak-anak Wahid Hasyim diasuh oleh istrinya yang saat itu sedang hamil anak keenam. Putri keduanya, Aisyah Hamid Baidlowi, membantu merawat adik-adiknya ketika sang ibu bekerja. Semua anak Wahid Hasyim tumbuh menjadi individu yang sukses dan berperan besar dalam kemajuan Indonesia. Putra sulungnya, Abdurrahman Wahid, menjadi Presiden ke-4 Republik Indonesia. Aisyah Hamid Baidlowi dan Lily Chadijah Wahid pernah menjadi anggota DPR. Salahuddin Wahid menjadi Wakil Ketua Komnas HAM, sementara Umar Wahid berprofesi sebagai dokter. Adik mereka, Hasyim Wahid, juga terlibat dalam dunia politik.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Ilmu Sosbud Selengkapnya
Lihat Ilmu Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun