Mohon tunggu...
mona ^_^
mona ^_^ Mohon Tunggu... -

Chocolate lover | Travelling holic | Lovely alone

Selanjutnya

Tutup

Cerpen

Namanya Dinda

18 Desember 2011   05:11 Diperbarui: 25 Juni 2015   22:07 110
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Pendidikan. Sumber ilustrasi: PEXELS/McElspeth

Pertemuan pertama kami, saat aku menjadi peserta olimpiade computer tingkat SMA di kota ini.

Semua peserta sudah di tempatnya masing-masing. Begitu pun aku, duduk menghadap meja komputerku. Bersiap memulai kompetisi. Ketika kurasakan seseorang mengahmpiri mejaku.

“Ini tanda pesertanya, silahkan dipasang…” suaranya renyah, sembari meletakkan sebuah benda di mejaku.

Langkahnya berlalu, menuju meja peserta lain. Melakukan hal yang sama, seperti yang ia lakukan untukku.

Aku beranjak pulang setelah membereskan peralatanku. Di pintu ruangan, ku dengar seorang lelaki berseru,

“Semua panitia kumpul evaluasi dulu ya, prens..!!!

“Sippp!”

Suara renyah itu… Ada diantara sahutan. Aku melangkahkan kaki keluar gerbang SMA ini dengan bibir tertarik membentuk sebuah senyuman.

Rintik hujan mulai turun saat aku bergegas membereskan laptop dan kertas-kertas yang berserakan di atas meja taman Balairung ini. Suara langkah tergesa mulai terdengar di sekitarku, berlomba dengan rintik yang menderas.

“Ayo buruan, hujan! Neduh ke Balairung dulu yuk…”

Suara itu…

Aku berlari ke arah Balairung, berlomba dengan orang-orang yang juga berlarian menghindari basah. Sepertinya hujan akan lama. Aku merapat ke dinding dan mulai mendudukkan diriku di atas lantai Balairung ini. Perlahan aku membuka laptopku, memasang headset dan mulai asyik dengan duniaku.

“Keren ya…” sebuah suara dari arah samping kiriku terdengar pelan.

Sepertinya mereka membicarakanku. Hmmm… ya… ya… laptopku memang keren.

“Ehem… games-nya keren…” suara yang lain kali ini, masih dari samping kiriku.

“Mmm…buat games sendiri ya?”

Deg!

Suara itu…

Aku melepas headsetku.

“Ini… games di laptop saya?” tanyaku sembari menunjuk laptopku.

Suara itu… Lima tahun lalu, saat aku untuk pertama kali ikut olimpiade komputer dan pertama kali mendengarnya. Selanjutnya, aku sudah terlibat pembicaraan seru dengan pemilik suara itu dan teman-temannya. Aku lupa, tadi siang aku datang ke Balairung ini untuk merefreshkan otakku, siapa tahu coding program tugas akhirku tidak lagi error kalau kubawa ke sini. Hehe…

Ternyata, ada kejutan lain yang Tuhan berikan. Kejutan yang lebih besar daripada jalan keluar coding programku.

Sepertinya, aku akan kembali pulang ke rumah larut malam. Teman-teman divisiku masih asyik bermain Championship Manager. Suaranya ribut, sama seperti ribuan pendukung timnas Indonesia saat melawan Malaysia. Padahal hanya ada enam orang laki-laki di ruangan ini.

Aku mengambil ponselku dan mengetikkan beberapa kalimat.

Apakah jawabannya masih sama?

Tak lama ponselku bergetar. 1 message received.

Masih…

Aku menghela nafas. Ponselku kembali bergetar.

Maaf…

Aku masih terdiam. Seharusnya aku sudah tahu dari dulu bahwa jawabannya akan seperti itu. Aku sudah bisa menebaknya, jauh sebelum tawaran itu kulontarkan. Senyuman pahit kembali menghias wajahku.

Hampir jam satu dinihari saat aku sampai di rumah. Ku ambil ponselku dan segera mengetik dan mengirimkannya.

Pekan depan aku training di sana. Boleh ke rumahmu?

Lama, tidak ada jawaban. Sampai aku bermimpi dan jawabannya tidak lagi sama.

Pagi hari kulihat ada pesan masuk di ponselku.

Hah? Serius?

Ya. Boleh?

Yakin?

Yakin.

Terserah…

Oke, pekan depan aku kabari.

Hujan di Balairung itu, membuat semuanya tak lagi sama. Ya, karena suara renyah itu menjadi temanku, lengkap dengan teman-temannya. Rasanya hidupku lebih hidup.

Meskipun kami tidak di fakultas yang sama dan jarang bertemu, pertemanan kami tetap berlanjut. Lebih tepatnya, aku yang berusaha untuk tetap menjadi temannya. Baik melalui situs pertemanan yang banyak tersedia, saat bertemu di kampus atau melalui sms-sms ringan yang lebih banyak berisi joke. Tidak sering memang, tapi itu sudah lebih dari cukup bagiku.

Sampai aku ditempatkan kantorku di pulau yang berbeda dengannya. Kami masih berteman. Dia, si suara renyah itu teman yang menyenangkan. Aku mulai tertarik padanya. Sejak pertemuan pertama kami. Ah, tapi aku selalu mengingatkan diriku. Hey, sadarlah! Lihatlah siapa dirimu?!

Setahun lalu aku memberanikan diri. Aku mengatakan kepadanya kalau aku menyukainya dan bersungguh-sunguh menawarkannya menjadi pendampingku. Dia terkejut. Sangat. Aku pun bersiap diri ditolak. Sampai akhir pembicaraan dia hanya diam.

Sebulan berlalu. Kutanyakan lagi tentang penawaranku padanya. Bahkan aku berkata, tak usah takut menjawab, apapun itu, penolakan sekalipun. Dia meminta waktu, memikirkan ulang, istikharah dan bertanya kepada kedua orangtuanya.

Enam bulan berlalu. Jawabannya adalah TIDAK. Ya, aku tahu. Aku sudah tahu bahwa jawabannya adalah tidak. Itulah jawaban kedua orangtuanya. Tidak, untukku. Meskipun dia menjawab YA.

Dia berkata, berikan waktu untuknya meyakinkan kembali orangtuanya untuk tidak melihatku hanya dari satu sisi. Dia bilang, ada banyak kelebihan dan kebaikan yang aku punya. Rasanya kawan? Aku menggenggam dunia saat dia mengatakan hal itu.

Sore ini aku berada di rumahnya, rumah suara si renyah. Senyumku masih lebar, hampir kering terasa gigiku karena tak henti tersenyum sejak pagi tadi. Tidak. Bukan sejak pagi tadi. Tapi sejak aku mendatangi rumahnya delapan bulan lalu.

Di sela training delapan bulan lalu, aku menepati janjiku untuk datang ke rumahnya. Menguatkan hati berbicara dengannya sekaligus bertemu kedua orangtuanya. Ku katakana kesungguhanku untuk menjadikan putri mereka sebagai pendampingku, teman hidupku. Dan aku bertanggung jawab penuh dengan pernyataanku.

Lalu? Tidak ada jawaban.

Aku tidak menyerah kawan. Aku membuktikan bahwa aku bisa bertanggung jawab. Kali ini, aku mencoba berteman dengan kedua orangtua si suara renyah. Aku tidak lagi menghubunginya, namun membuka jalan komunikasi dengan orangtuanya.

Kepercayaan itu datang. Jawaban kedua orangtuanya berubah. YA. Sekali lagi, kali ini jawabannya adalah YA. YA untukku menjadi pendamping hidup putri mereka, menjadi menantu di keluarga mereka.

Kutundukkan kepalaku. Bersujud memuji kebesaran-Nya. Hanya karena-Nya, Yang Maha Pembolak-balik hati. Kubasahi lisanku dengan kalimat syukur padaNya.

Rasanya dadaku masih bergemuruh. Ada banyak bahagia, haru, dan semua rasa bercampur menjadi satu. Masih terbayang gemetar tanganku digenggam tangan ayahnya. Mengucap ijab kabul. Menjadikannya pendampingku, teman sejatiku, bidadariku.

Dia yang saat ini ku genggam tangannya, usai Ar-Rahman permintaannya kutunaikan. Aku tahu dia pasti sangat cantik dengan senyuman yang merekah menghiasi rona merah wajahnya. Meskipun aku tak akan pernah melihatnya, selama di dunia ini. Entah nanti, saat Tuhan izinkan aku masuk surgaNya dan Tuhan berikan penglihatan untuk menatapnya, pemilik suara renyah yang aku cinta.

Oh ya, namanya Dinda.



:: Dear U, thanks a bunch for inspiring me :)

Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun