“Hey!!! Tengok…tengok ini…!” Si Kurabang tampak berlari-lari sambil mengacung-acungkan kertas yang dibawanya ke arah teman-temannya yang sedang berenang di sungai Aek Marancar.
Tampak hampir sepuluh anak seusia Kurabang yang masih SD berenang ke arah batu di pinggir sungai itu. Mereka tampak antusias mendengar teriakan dan kertas yang di bawa Kurabang.
“Huft…huft…” Kurabang terengah-engah.
“Abangku baru datang dari Sidempuan. Kelian tau? Anak uwakku yang aku ceritakan punya televisi yang bisa lihat macam-macam, tak seperti televisi kita.”
“Lihat…lihat ini yang dibawakan abangku. Ada banyak cerita yang dia tulis di sini pakai televisinya itu.”
“Macam-macam. Abang bilang cerita-cerita ini dongeng dari internet si Ana katanya. Untuk anak Indonesia katanya.”
“Kita ini, anak Indonesia kan?” panjang lebar Kurabang menjelaskan.
Hotdi yang duduk di batu menimpali, “Pintar kali Si Ana, banyak ceritanya ya?!”
“Ada cerita kita, Kurabang?” Si Payung kali ini yang bertanya.
Kurabang duduk lesu di pinggir sungai, “Tak ada…”
“Ahhh…” desah yang lain kecewa.
“Apa Si Ana tak tau jembatan yang menuju Tanjung itu?” Tanya Maso
“Belum didengarnya mungkin. Mungkin rumah Si Ana lebih jauh dari Sidempuan. Jadi, tak sampai cerita jembatan itu.” Kata Kurabang.
“Kalau begitu, kau ceritakan sama abangmu. Bilang, ceritakan ini ke Si Ana, supaya Si Ana tau dan diceritakannyalah jembatan itu. Tulis juga nama kita. Kau bilang itu ya ke abangmu.” Ujar Hotdi berapi-api.
“Pulanglah kau sekarang. Bilang ke abangmu!” Si Torang angkat bicara.
Disambut sahutan teman-temannya yang kemudian kembali menceburkan diri ke Aek Marancar, “Ya…pulanglah…”
===
[caption id="attachment_103693" align="alignleft" width="300" caption="Jembatan kayu (http://farm3.static.flickr.com)"][/caption]
Kali ini Kurabang kembali berlari. Pulang ke rumahnya untuk menemui abangnya. Dari kejauhan terlihat abangnya yang berjalan hendak keluar dari halaman rumahnya.
Kurabang berteriak, “Abang…!!! Tungguuu…!”
Si Abang menoleh dan menghentikan langkahnya.
“Mau kemana abang?”
“Ke lopo sebentar, ngopi sama makan goreng pisang. Ada apa rupanya?”
Kurabang menarik tangan abangnya, “Nanti saja! Ada yang mau aku dongengkan.”
“Uda duluanlah ke Lopo, nanti aku menyusul.” Ujar Abang ke Ayah Kurabang.
Mereka duduk di bale-bale depan rumah Kurabang.
“Aku ceritakan dongeng ini. Nanti abang bilang ke Si Ana ya, tuliskan juga dongeng ini di televisinya itu?!” kata Kurabang tanpa jeda.
“Televisi Si Ana?” Tanya abang bingung.
“Ini!!!” Kurabang mengacungkan kertas yang dipegangnya.
“Ooo…bukan Si Ana itu, tapi Kompasiana…hahaha…” Si Abang tergelak.
“Ya! Siapapun dialah! Abang ceritakan ya?! Ini tentang jembatan ular yang mau ke Tanjung itu.” Tukas Kurabang.
“Iya lah. Cerita lah kau.”
“Abang tau, jembatan yang mau ke Tanjung, yang dari Poken Arba itu?” Tanya Kurabang
“Iya, tau lah abang.”
“Itu dulu bukan jembatan yang dibuat. Bukan dari kayu. Itu jembatan ular!” Kurabang menggebu-gebu.
“Hah?!?”
“Ayah bilang, dulu waktu Ayah kecil tak ada jembatan di sana. Kalau mau dan dari Tanjung, turun dulu kita ke Aek Marancar, lewat batu-batu terus naik lagi, baru jalan ke Poken Arba.”
Kurabang memperbaiki letak duduknya.
“Nah…di Aek Marancar itu kan banyak kali ular yang sering lewat. Mungkin ular ini bukan ular sungai, tapi dia main ke sungai. Dia makan hewan yang lewat sana. Ada babi sama ayam yang sering main ke sana. Itulah yang dimakannya. Ikan-ikan juga, dulu banyak ikan besar-besar di Aek Marancar. Ayah yang bilang begitu. Itu juga yang dimakan ikan-ikan itu. Semakin hari, kalau memancing ikan dekat daerah yang ada jembatannya itu sering tak dapat ikan. Orang-orang jadi malas ke sana.”
Kurabang menarik napas dan menatap abangnya semakin serius.
“Itulah kata Ayah. Mungkin, karena jarang orang yang ke sana, ular itu berani naik. Dimakannya juga binatang-binatang yang lewat dekat sungai itu. Sampai besar badannya. Nah, ular itu mau makan yang ada di sebrang, yang ke arah Tanjung itu, Bang…Tapi, pas kepalanya sudah sampai di seberang, nyangkut ekornya di dekat akar-akar pohon itu. Susah kali dia mau bergerak, badannya sudah besaaarrr. Jadi, diamlah dia di situ.”
“Akhirnya ular itu menjulurkan kepalanya ke bawah, supaya dia bisa makan yang lewat dekat sungai. Lama dan tambah besar dia. Hitam kulitnya karena kena hujan dan panas. Sampai ada yang melihatnya, dikiranya jembatan itu! Lewat dia di sana. Setelah itu, banyak yang lewat jembatan itu.”
Kurabang mengusap wajahnya.
“Sampai Bang…ada yang terpeleset! Tumbuh lumut di jembatan itu. Karena itulah orang-orang bekerja sama membersihkannya. Pakai golok dan cangkul kecil. Pas dibersihkan, ada darahnya! Kaget orang-orang itu. Dicoba lagi dibersihkan, ada darah lagi!!!”
“Akhirnya orang-orang itu menelusuri jembatan itu. Baru ketahuan! Di ujung yang mau ke Tanjung, jembatannya ada beloknya ke bawah. Pas dilihat Bang! Kepala ular itu ada di bawah!!! Kaget semuanya!”
Kurabang menarik napas.
“Ribut semua orang-orang! Akhirnya ramai-ramai diangkat ular itu. Banyak kali orang yang mengangkatnya. Kata Ayah, semua laki-laki ikut. Mulut ular itu diikat, tapi ular itu sudah tidak bisa bergerak, badannya berat tak bisa digerakkannya sendiri.”
“Abang tau, ditaruh di mana ular itu? Di taruh di bagas godang. Di tengahnya, gentian yang menjaga. Beberapa hari dari itu ada truk besar yang datang. Dibawa ke Sidempuan jembatan ular itu. Trus pakai kapal besar dibawa ke Medan, lebih jauh dari Sidempuan.”
“Dari Medan, dibawa lagi kata Ayah. Jauh ke Belanda. Mau dilihat katanya. Mau dilihat juga apa yang ada di dalam ular itu. Untuk belajar di sekolah katanya. Berat ular itu lima ton!”
“Berat kali ya Bang, lima ton itu? Kenapa belajar ular di Belanda? Itu kan jembatan Aek Marancar, jauh kali dibawa pakai kapal?” kali ini Kurabang bertanya bertubi-tubi.
Abang menghela napas, “Lima ton itu berpuluh-puluh karung beras. Ya berat kali. Tak mengertilah abang kenapa jembatan itu dibawa orang lain. Kalau tetap ditaruh di sini atau di Sidempuan, kita masih bisa melihatnya kan? Tanya kenapa?”
“Abang ini, aku tanya kenapa, Abang tanya pula kenapa?” gerutu Kurabang.
“Janji ya Bang! Bilang ke Si Ana, ceritakan jembatan ular kami yang besar ini!”
“Ya, nanti Abang bilang ke Si Ana. Ke lopo dulu Abang sekarang ya? Habis nanti goreng pisang.” Kata Abang seraya beranjak dari duduk.
“Sip! Mauliate godang, Bang!” teriak Kurabang berbinar sambil mengacungkan jempol tangan kanannya.
***
PARADOKS ini dipersembahkan untuk 'memperkaya' anak-anak Indonesia.
24 April 2011, 15.00 WIB
Salam PARADOKS
=@=
Mauliate godang : terima kasih banyak
Poken : pasar
Lopo : kedai
Bagas godang : rumah besar, berfungsi seperti balai desa
Ada banyak kisah seru lainnya di halaman DONGENG ANAK NUSANTARA.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H