Saat draft Rancangan Undang-Undang Permusikan yang tengah diaduk-aduk pemerintah bocor ke ruang publik, akhirnya dia jadi senjata politis guna menyerang lawan atau sekedar mempertahankan popularitas agar terpilih lagi.
Maklum menjelang pemilu. Jangankan peraturan, soal skandal main birahi yang sebenarnya ada di wilayah paling pribadi pun kena kritik tajam sekali dan jadi bahan bulan-bulanan.
Begitulah pengelolaan negara yang secara ruhani sudah hancur lebur bahkan bubar ini. Apa saja bisa jadi alasan untuk saling serang. Sementara media tempat berkerumunnya orang di dunia maya, sungguh membuat konsep jiwa massa bekerja efektif sesuai maksud si pelontar pertama.
Jiwa massa sendiri, menurut aturan main di ranah komunikasi dimaknai sebagai pengaruh kolektif yang ditimbulkan atas dorongan isi pernyataan komunikator atau penyampai pernyataan pertama yang bersifat provokatif, hingga melahirkan reaksi serupa secara bersamaan pada khalayak atau penerima pesan dalam jumlah banyak orang.
Misalnya begini, di tengah suatu pasar tempat berkerumunnya orang tiba-tiba ada yang teriak : "Maliiiing.. copeeettt," kata peneriak sambil menunjuk seseorang.
Khalayak tanpa tanya dulu apa betul dia copet, langsung menghajar bahkan membakarnya hidup-hidup. Nah, inilah yang dimaksud jiwa massa dalam arti negatif. Positifnya, silahkan cari perumpamaan sendiri.
Saya enggan memberi vote pada pesan singkat yang masuk berupa ajakan menandatangani petisi penolakan terhadap RUU Permusikan. Sebab rasanya, ada bihun di dalam tahu isi. Jangan-jangan, ini bakal jadi bahan dalam upaya merangkul musisi guna terlibat aktif di bidang serang-menyerang.
Bisa jadi benar, bisa jadi tidak. Tapi nyatanya, soal ini sudah cukup mampu memancing emosi orang berpredikat musisi. Mungkin saja, di tengah jalan nanti bakal nongol politisi membonceng isyu ini.
Pemerintah dalam hal ini DPR, mulai jadi bulan-bulanan. Sementara di seberang jalan, sudah mulai curi-curi pandang ajak dukung calon lain.
Dari garis besar RUU itu, pemerintah rupanya beranggapan bahwa musik punya potensi ekonomi begitu besar. Saking besarnya, mereka kira kalau sendi ini mampu membawa kemakmuran pada rakyat banyak dengan menyedot pendapatan besar meski tak disebutkan secara terang-terangan.
Demi mendulang potensi itu secara maksimal, semua pihak terkait harus dianggap kompeten dulu oleh negara dengan mengantongi sertifikat. Ya penulis lagu, penyanyi, musisi, label rekaman, produser, pemanfaat produk musik, penyelengara pertunjukkan, lembaga pengarsip, harus ikut ujian kalau mau dianggap mumpuni. Kalau tak, ya ga apa-apa. Tapi ada resiko berupa ga bisa ngejob.