Di tanah Watohari, semua diselesaikan di alam pikiran sebelum di adili oleh pandangan dan pikiran orang lain. Wajah-wajah penuh sederhana, jejak para leluhur menjadi dasar panutan sejati. Mampu menghapus dendam dengan cara memaafkan, membalut luka di hati dengan penuh kesabaran. Menahan amarah, masih saling menghormati antara sesama dengan cara yang baik dan bijak. Berkata lemah lembut, tidak mudah menuduh dan mengajarkan hal-hal baik pada setiap orang yang mempunyai masa lalu yang kelam. Menatap kecewa, merawat mimpi dan menikmati proses untuk berjuang sepenuh hati.
Di tanah aku dilahirkan, kebahagiaan tidak perlu dibeli dan waktu tak boleh tersisa untuk kesedihan. Masih ada tawa kepolosan, rindu tersulam penuh harapan dan bayangan suasana menyita di dada. Rindu tanah kelahiran, masa kanak-kanak, hati yang tak letih menuntun dan rindu pada mereka yang tulus mencintai. Senyum penuh sedekah berseri-seri, mendamaikan selalu, merahasiakan kemunafikan orang dan di tanah kelahiran kita masih mendahulukan sangka baik daripada yang buruk-buruk.
Sebelum aku memohon pamit pada langit sore lalu meninggalkan sepotong tawa di sudut dermaga "Kau boleh jadi apapun, Nak, asal jangan jadi penindas." buah pesan Ibu mendarat di telingaku.
"Suatu saat nanti, apapun yang terjadi jangan jadi penjilat, Nak, karena selama masih ada ludah, penjilat akan selalu ada. Dan jangan biarkan seorang penjilat beristirahat!" Tambah seorang lelaki tua di bawah senja yang sedang jingga-jingganya, dia yang biasa aku panggil dengan sebutan Ayah.
Di tanah aku di besarkan, ribuan jejak tak henti terukir dibenak lalu pada sebaris nama yang tak pernah lekang dari jiwa. Menyanyi bersama, melemparkan sendawa untuk menyapa kata-kata. Perasaan menyatu, saling menyelami kehidupan penuh cinta luar biasa. Kebersamaan ini biarlah tetap terjaga dengan rindu yang ikhlas menghiasi jiwa kita. Kita bukan generasi bedebah, pongah, rakus, tak tahu malu bahkan generasi penjilat; entah. Ini kita sedang menunggu episode dari drama lihai selanjutnya atau kita sudah berpihak pada diri kita sendiri seutuhnya.
Untuk benci orang harus belajar dulu tapi kalau untuk cinta itu otomatis. Di Watohari, aku tahu bahwa tidak ada satu orang pun yang lahir membawa kebencian pada yang lain baik karena warna kulit, karena latar belakang atau karena agama. Tidak saling membodoh-bodohi dan kita masih bebas berkreasi tanpa alasan sebuah dogma, primata dan doktrin. Akhirnya aku menyadari bahwa aku hanya pengabdi sunyi, tak temukan kesamaan di ruas mimpi tetapi selalu ciptakan kesunyian di dada yang sumringah. Dan dari balik pintu bibir Watohari, tidak ada kita temukan seperti apa yang sudah di wartakan Sartre "Neraka adalah orang lain, orang lain adalah neraka."Â
Aku menemukan banyak nama yang tidak disebutkan dalam buku-buku sejarah, baik yang ditulis oleh penulis populer, seperti Copleston atau oleh filsuf atomis seperti Russel bahkan pemikir klasik seperti Epictetus, filsuf Yunani kuno. Di sini, di bumi Watohari, ketahuilah bahwa penghuninya hidup dengan cinta dan hanya meninggalkan cinta untuk di kenang sepanjang sejarah umat manusia. Semoga di atas tanah Watohari, cinta senantiasa tumbuh dan mekar dalam keluarga kita sekalian serta darinya kita bisa menyebarkan dimanapun kita berada karena kita satu rumah, satu tungku dan satu rasa.
-Bumi Cendana, 1 Maret 2023
Syarwan Edy || @paji_hajju
(Salam sayang dan peluk dari aku untuk kenangan)
#masyarakat #antek #kenangan
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H