Badan siapa yang mau kita gemukkan?
Akankah badai ini pasti berlalu?
Akankah ada bahagia di ujung senja?
Semesta merangkak perlahan, merayakan kesendirian lalu mencintai diri sendiri. Purnama penuh gelisah, menanak cerita-cerita pilu dari bilik tungku kehidupan. Angin sesekali melukis keheningan, kelam merajut desirnya yang teramat miris. Dingin menghempas tanpa tepi, gerimis mengusik hari-hari sepi. Bapak di koyak-koyak lelah, lemah tak berdaya mencari keadilan kesana-kemari. Bapak mati di bunuh sepi, letih dalam hampa mencoba membayangkan demokrasi yang sehat di negeri sendiri.
Mungkinkah nasib kita akan berubah saat kita sudah menjualkan harga diri?
Mungkinkah hidup kita akan damai saat kita sudah menjadi budak belia?
Mungkinkah diri kita akan bebas saat kita sudah menjadi penjilat yang berkelas?
Mungkinkah cita-cita kita akan nyata saat kita sudah mengabdi kepada penguasa yang baik hati tapi mati nurani?
Mungkinkah mimpi kita akan terwujud saat kita sudah menjaja laku kebohongan?
Mungkinkah kebebasan kita akan dapatkan saat kita sudah bekerjasama?
Menuai mimpi, menggema dalam kehampaan jiwa menjerit batin tertikam kejamnya takdir. Bapak adalah diksi dan keadilan adalah ilusi. Bapak adalah kekuatan dan kemerdekaan adalah ketakutan. Hujan air mata juga belum reda kemudian di berikan kehilangan yang begitu rumit. Jam berdetak, waktu membawa patah hati panjang. Bunga-bunga layu, rerumputan kering, hutan-hutan penuh malang, sawah-sawah menerima nasib, kumbang-kumbang kelaparan dan kerinduan hanya tinggal kerinduan.