Terpaut menetap mentari yang kelabu, meneriaki sebuah kepalsuan tuk mengusir gulita. Terjerat deru haru ombak, terpasung rasa terbang jauh seirama langkah rasa sakit. Pada malam hanya kesepian yang menyapa, melangkah tanpa jejak untuk segala resah. Mendung merekah air mata, menikmati setiap pilu dalam kesendirian semu. Awan hitam tinggalkan kenangan manis, semoga bisa sembuh melupakan indah sinar rembulan.
Di setiap bias jejak, purnama kedinginan dari sudut yang terasing tersusun rapi. Saat pagi tiba, musim-musim pelik terus mengulang meski waktu dan jarak telah terentang. Dari balik tawa Bapak, terdengar suara cangkul bercerita di antara bebatuan dan tanah. Dari balik keringat Bapak, tergambar impian-impian di ujung bahagia. Luka dalam diam, Bapak menyimpan milyaran harapan tanpa sekedar kiasan. Di riuhnya ilalang, Bapak mendamba pengungkapan yang lalu bukan hanya sebatas kenangan. Dan di sudut kata-kata, Bapak menanggih janji-janji kampanye yang dulu begitu raung merdunya.
Akankah beribu air mata menetes begitu saja dengan sia-sia?
Rumah siapa yang sedang kita bangunkan?
Perut yang mana yang sekarang kita makmurkan untuk tenang?
Siapa yang lindungi siapa?
Merdeka seperti apa yang di maksudkan?
Toleransi yang mana telah kita lakukan?
Luka siapa yang sudah kita sembuhkan?
Pelik yang mana yang telah kita peluk?
Sudahkah kita tawa dengan bebas?