Mohon tunggu...
Syarwan Edy
Syarwan Edy Mohon Tunggu... Mahasiswa - @paji_hajju
Akun Diblokir

Akun ini diblokir karena melanggar Syarat dan Ketentuan Kompasiana.
Untuk informasi lebih lanjut Anda dapat menghubungi kami melalui fitur bantuan.

Syarwan Edy, sangat suka dipanggil dengan nama bang Paji. Si realistis yang kadang idealis | Punya hobi membaca, menulis dan diskusi | Kecintaannya pada buku, kopi, dan senja | Didewasakan oleh masyarakat dan antek kenangan.

Selanjutnya

Tutup

Diary Pilihan

Bukan Puisi: Ayah

12 November 2022   04:27 Diperbarui: 12 November 2022   04:34 358
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
"Sumber Foto : milik pribadi"

Pada pukul rindu dini hari, aku terbangun dari tidurku yang lelah dan lelap. Tentang dahaga merambatkan tiap ratap di sekitar gelap. Entah dari berisiknya suara nyamuk, dingin angin malam menyuap ataukah rasa berterimakasih ku kepada sesosok tubuh yang mulai perlahan menua, keriput kulit, putih rambut, keropos tulang dimakan oleh zaman. Lantunan sendu mengiringi kerlap-kerlip bintang kejora sebagai penghapus tatapan basahku. Lelaki itu terbaring di atas tikar lusuh sesekali merapal doa dalam mimpi lalu memenjarakan letih. Ya, dia adalah Ayahku. Pahlawan di setiap angan inginku.

Kulihat wajahnya sedang tertidur di derai tetes keringat dengan senyum terbaik miliknya laksana menikmati senja di ufuk timur. Gumamku dalam hati: "Ayah, terimakasih sudah berusaha menjadi Ayah yang hebat, kuat, juga tangguh untuk aku, Ibu dan tiga darah manismu." Suasana hening seketika. Saat ku teringat dekapanmu meredam amarahku waktu dulu. Dalam setengah kesadaran, isak tangis ku sedikit pecah. Di keheningan kenangan, aku berpindah dari tempat dudukku, jatuh air mata, langit seakan runtuh lalu kuraih tangannya dan kucium penuh ikhlas dengan rasa haru dalam dada bak mentari pagi yang cerah. Aku sayang Ayah.

Ayah, cintamu sungguh luas membahana dengan nada yang ramah. Kasihmu tiada tandingan di alam nyata tuk tepiskan keluh dunia. Meskipun seluruh pasir di jagad raya ini terkumpul menjadi satu tempat. Pengorbananmu mempuni tiada tara dalam dada. Demi cita dan cinta yang mulia untuk keluarga kecilmu, kau rela basah kuyup diguyur hujan musim harapan dan tiada mengeluh ketika susah. Sehat-sehat selalu Ayahku yang ganteng dan akan selalu tampil keren. Dia adalah lelaki miskin tapi kaya hati.

Jaga jiwa raga agar tidak terluka dan melukai mahkluk di bumi ini. Ayahku ialah laki-laki yang berhati maaf. Lima waktu jangan sampai terlupa, ingat. Agar kelak tidak ada siksa yang menimpa. Tidak ada pedih perih yang berkepanjangan. Semoga sang maha pengasih memberi ridho-Nya selalu. Ayah, kaulah cinta yang nyata di alam bebas. Kau sesosok tubuh miskin ilmu tapi kaya iman.

Secarik tulisan kutulis di musim penghujan tahun lalu. Dengan mata berkaca-kaca di temanin rekaman merdu nyanyian lembut Ibu. Aroma kopi tidak terbacakan lagi dan rokok telah terkikis habis serta rindu tetap basah dalam resah dan gelisah.

Hari ini, seperti membaca kisah-kisah pecinta untuk yang dicintainya. Melisankan mantra-mantra agar terdengar riuh di setiap penjuru. Seperti sajak balada dari wajah yang senja masih tertidur pulas itu. Atau menyelami jejak sejarah tokoh tersohor. Kobar api semangat dan gigihnya perjuangan untuk menjadi seseorang terbaik menurut versinya sendiri. Orang lain, mungkin dan mungkin tidak. Ayah untuk aku dari tahun 90-an sangat berkesan selalu hingga mata telah tertutup rapat, hingga mulut terpasung membisu dan pintu maaf akan selalu terbuka lebar. Dari tumbuhnya helai rambut pun gigi yang mulai perlahan bermunculan, hilang piluku dan sampai pada berjiwa tegar tetap Ayah menjadi sosok yang aku kagumi. Dari merangkak hingga perlahan berjalan dengan lucu-lucunya serta merubah segala payah, masih tetap Ayah yang akan menjadi nomer satu dalam arus kehidupan. Dalam benderang kegelisahan. Dari aku, terimakasih sebahagia ini. Kau adalah yang terbaik yang selalu bicara apa adanya. Terkadang tertatih-tatih menyendiri, menyongsong sepi hari-hari. Menukar duka jadi tawa, di hamparan samudera yang berlumuran sakal. Bermandikan peluh haru. Dan bercengkrama keluh kesah.

Ayahku yang ganteng, watak kerasmu mungkin saja membuatku makan hati. Tapi Ayah ingat, kecewa dan sedihmu membuatku menyesal bagaikan di bawa terik matahari menerjemahkan rahasia bila kemarau panjang.

Tiada titik, cinta dan ketulusanmu Ayah adalah mutiara berharga. Untuk kami koala-koala lucumu, menemukan jalan dan merebahkan sayap kerinduan. Maaf, belum bisa menjadi pribadi yang di banggakan olehmu. Tapi Ayah harus tahu bahwa : "Sayang dan cintaku, sebanyak tetes hujan bulan November ini. Ia tak terhitung.

Selamat hari Ayah, peluk dan sayang untuk sepanjang perjalanan sejarah umat manusia. Menoreh senyum walau terluka, yaitu, Ayah.

Baca juga: Ibu Kehilangan Iba

-Oepura, 12 November 2022-

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Diary Selengkapnya
Lihat Diary Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun