Mohon tunggu...
Syarwan Edy
Syarwan Edy Mohon Tunggu... Mahasiswa - @paji_hajju
Akun Diblokir

Akun ini diblokir karena melanggar Syarat dan Ketentuan Kompasiana.
Untuk informasi lebih lanjut Anda dapat menghubungi kami melalui fitur bantuan.

Syarwan Edy, sangat suka dipanggil dengan nama bang Paji. Si realistis yang kadang idealis | Punya hobi membaca, menulis dan diskusi | Kecintaannya pada buku, kopi, dan senja | Didewasakan oleh masyarakat dan antek kenangan.

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Pilihan

Sumpah yang Punah

29 Oktober 2022   12:38 Diperbarui: 29 Oktober 2022   12:47 124
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
"Sumber Foto: milik pribadi"


Di gedung Katholieke Jongenlingen Bond desir harapan-harapan memeluk atas nama cinta sesama. Menggema lirih keringat memperkuat persatuan Indonesia yaitu sejarah, bahasa, hukum adat, pendidikan dan kemauan. Membakar seluruh jiwa sanubari para pemuda dari Soegondo hingga ke Moehammad Jamin mendamba banyak mimpi tak terkikis oleh waktu. Dengan suara lantang dan semangat membara hanya pada satu kata kita Indonesia. Merajut segala cita dan doa perjuangan pahlawan muda bahwa kita adalah saudara sedarah bukan antek asing dan bercerai berai.

Di dalam ruangan Oost-Java Bioscoop riuh mendekap peluh mencerdaskan kehidupan bangsa. Dari suara Poernomowoelan dan Sarmidi Mangoensarkoro menyiapkan generasi-generasi yang siap menata masa depan. Sekolah adalah rumah serta rumah adalah sekolah bergemuruh menyeru janji. Hati bergetar sesak dada kian mendera haru di minggu malam yang paling syahdu.  Anak-anak juga harus dididik secara demokratis meraung merdu sebelum fajar memikat dipandang mata. Nyatanya lembaga pendidikan bukan lagi bersifat produktif, tetapi menjadi konsumtif. Lupa konsitusi, lupa mencerdaskan kehidupan bangsa yang berkarakter dan berbudi luhur.

Sumpah setia dibawah remang-remang lampu membisik denting pada daksa di pesanggrahan Indonesische Clubhuis Kramat. Soenario menjelaskan pentingnya nasionalisme dan demokrasi selain gerakan kepanduan. Sedangkan Ramelan mengemukakan gerakan kepanduan tidak bisa dipisahkan dari pergerakan nasional. Membalut lembut rindu dalam detak tanda baca menyeberang keberagaman. Diperdengarkan karya Wage Rudolf Supratman sebelum kongres ditutup dan disambut dengan sangat meriah memekakkan telinga. Bukan untuk memperkeruh suasana.

Di panggung-panggung megah para keparat negeri menyerukkan kepemimpinan yang cerdas dan berlandaskan cinta kasih serta mengamalkan Pancasila bukan Pancasala. "Keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia." Lantas mengapa pemeluk bumi Besipae kini digusur sampai kehilangan rumah dan kini telanjang di bawah pepohonan? Ataukah keadilan sosial hanya berlaku pada yang punya power dan kerabat pengusaha? Mereka bersumpah atas nama kejayaan bangsa tapi rakyat tak berdaya karena kehabisan tempat luak.

Orang-orang muda menyumpahi segala kebijakan yang tidak memanusiakan manusia, namun nyatanya itu hanyalah bualan belaka. Kita terus saja mengusap luka yang tak pernah reda. Sumpah tak bisa merubah ketidakadilan, sumpah tak bisa membunuh keserakahan. Sumpah tak bisa menjanjikan apa-apa untuk para korban pelecehan di Nusa Kenari sana, selain ketidakpastian hukum dan omong kosong lainnya. Butuh aksara tapi jangan lupa dan buta sejarah. Sungguh sekarang tidak berarti apa-apa. Sumpah pemuda hanya tinggal nama di tengah kepulan asap.

Baca juga: Duka Cantika 77

Demikianlah sumpah, dia tak bisa dipegang apalagi diyakini. Bagaimana bumi pertiwi, masih mau dibuai dengan sumpah-sumpah pemerintah yang awalnya manis lalu berakhir sadis? Tan Hana Dharma Mangrwa, Bhinneka Tunggal Ika bukan boneka milik Amerika. Kita sebagai bangsa yang terjajah bukan menjajah. Dan bukan pula meraja hingga membuat rakyat semakin menderita. Apakah kita generasi berdasi lalu lupa tragedi? Kalau sedangkal itu bagaimana cinta bisa menyatu, bersatu bangun bangsa.

By Syarwan Edy and Nenansi Grasiani 

[Kupang, 28 Oktober 2022]

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Baca juga: Ibu Kehilangan Iba

Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun