Mohon tunggu...
Syarwan Edy
Syarwan Edy Mohon Tunggu... Mahasiswa - @paji_hajju
Akun Diblokir

Akun ini diblokir karena melanggar Syarat dan Ketentuan Kompasiana.
Untuk informasi lebih lanjut Anda dapat menghubungi kami melalui fitur bantuan.

Syarwan Edy, sangat suka dipanggil dengan nama bang Paji. Si realistis yang kadang idealis | Punya hobi membaca, menulis dan diskusi | Kecintaannya pada buku, kopi, dan senja | Didewasakan oleh masyarakat dan antek kenangan.

Selanjutnya

Tutup

Lyfe Pilihan

Ibu Kehilangan Iba

20 Oktober 2022   09:14 Diperbarui: 20 Oktober 2022   10:58 116
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Suara gaduh

Di puncak kelam, aku melanglang di alam aksara. Meramu diksi, membakar lara. Bagai awan putih di nabastala. Membahasakan asa, renjana mendamba pandangan mata. Menempa atma nan derana.

Tentang sepasang mimpi yang hingar-bingar ataupun hujan rintik-rintik menyanyikan lagu berirama rindu. Mendung kembali menyapa dengan bahasa dan janji-janji manis. Tidak kalah absurd dengan drama cinta segitiga atau sejenisnya.

Orang-orang sibuk menghakimi, seperti menikmati senja yang merah merona di seberang pulau. Padahal berteman dengan kedamaian adalah sejatinya hidup. Kelak mungkin berlalu, tapi tangisan berlapis-lapis di tanah kering mungkin tidak.

Baca juga: Merdeka - Mereka

Sepertinya tidak ada hidup, yang ada hanyalah kehidupan yang dihidupi.

Lelah tak dihargai. Di ujung jalan sumpah serapah dikenang layaknya mencintai orang yang salah. Dendam memenuhi ruang,  berkumpul memainkan peran dan diam-diam merumuskan dosa atas sesama.

Dalam gelap gulita jiwa kelana seperti kemarin membisik meraup candu dusta. Mencari celah menikmati tahta penuh angkara. Sialan! Tak sama rasa. Begitulah ringkih jangkrik sebelum fajar datang menghadang.

Suara gaduh, tertindas dan menindas. Penuh ambisi melekat hingga ke urat nadi. Sadis, bengis, miris, tragis seperti Ibu kehilangan ibanya. Sumringah dibawa paras purnama memilih menipu lewat bongkahan kata.

Di saban waktu percaya sebatas rasa hormat. Membisu dalam palung hening. Sebab diam jua memiliki makna.

Oepura, 20 Oktober 2022 

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Lyfe Selengkapnya
Lihat Lyfe Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun