Di tengah riuh rendah tuntutan mahasiswa yang sering menghiasi jalanan---entah menuntut keadilan, reformasi, atau bahkan potongan harga di warung kopi kampus---muncul sebuah suara yang agak berbeda, "Komisariat saja gak mampu diurus, kok minta menteri dari Maluku!" Seruan ini tidak datang dari provokator luar, melainkan dari sesama mahasiswa yang mungkin sudah lelah dengan janji-janji internal yang tak kunjung terealisasi.
Bayangkan saja, komisariat yang seharusnya jadi markas pergerakan mahasiswa malah sering kali jadi tempat nongkrong sambil main gim. Laporan keuangan komisariat? Mungkin lebih sulit ditemukan daripada kembalian di kantin kampus. "Kas kosong, bro!" adalah kalimat sakral yang sepertinya jadi pengumuman rutin setiap rapat, diiringi canda tawa, seolah masalah ini bisa selesai dengan tertawa bersama.
Namun, di tengah segala kesibukan menyusun tuntutan besar untuk pemerintahan pusat, ada tuntutan yang entah bagaimana muncul, yakni soal harus ada menteri dari Maluku. Entah siapa yang pertama kali mencetuskan ide ini, tapi yang jelas, ide itu menggema seperti speaker masjid yang kepencet subuh-subuh. "Kalau ada menteri dari Maluku, pasti semua masalah beres," kata mereka, dengan keyakinan setengah bercanda, setengah serius.
Padahal, komisariat sendiri bak kapal oleng yang belum tahu kapan akan berlabuh. Sekretariat, yang katanya jadi pusat diskusi kritis, kini lebih sering digunakan untuk tidur siang. Rapat rutin? Ah, itu cuma wacana---karena rapat yang sesungguhnya sering kali berakhir dengan argumen seru soal siapa yang akan bayar kopi. Ketua komisariat? Sosoknya lebih sulit ditemui daripada dosen pembimbing saat deadline skripsi sudah mepet.
Di balik semua kegagalan mengelola komisariat, tuntutan agar ada menteri dari Maluku jadi terdengar agak menggelikan. Bukannya tak setuju dengan representasi daerah, tapi bagaimana bisa kita bicara soal posisi menteri, sementara tumpukan kertas administrasi komisariat saja sudah menyerupai gunung yang tak pernah tersentuh?
Di akhir cerita, mahasiswa pun kembali berkumpul di sekret, berdebat sengit soal siapa yang lebih layak jadi menteri: si A yang selalu datang rapat, atau si B yang lebih sering absen tapi jago buat poster. Satu hal yang pasti, selagi tuntutan itu bergulir, laporan keuangan komisariat masih tetap misterius, dan agenda rapat berikutnya? Ya, mungkin dibahas nanti---sambil ngopi, tentu saja.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H