Negeri Wahai sudah ada sejak tahun 1591. Kala itu terjadi eksodus penduduk yang berasal dari Arab, Jawa, Saparua dan Buton.
Mereka lah yang merintis pemukiman di kawasan tersebut. Pada tahun 1610, dari musyawarah bersama, kawasan tersebut dinamakan Desa Wahai.
Pemukiman pun meluas dengan mengubah hutan menjadi tempat tinggal sederhana dari kayu serta daun-daun pohon sagu.
Pada tahun 1650, di era Gubernur VOC Maluku yakni Arnold De Vlaming Oudshroom, Wahai dijadikan pangkalan militer Belanda untuk menyerang perompak di laut utara Pulau Selama dan Kepualauan Raja Empat yang disebut VOC sebagai Papau Zeerover.
Seiring dengan perjalanan waktu, pemerintah Hindia Belanda membangun benteng pertahanan di sebelah timur Wahai yang sekarang dikenal dengan Kampung Jawa.
Lalu pada tahun 1806, terjadi eksodus gelombang kedua ke Wahai dari komunitas Halmahera Timur, Halmahera Tengah, Halmahera Tengah dan Tidore bersama pewaris tahta Jailolo.
Eksodus ketiga terjadi pada tahun 1821 dan jumlah komunitas Halmahera dan Tidore yang menetap di negeri Wahai mencapai 7.000 orang.
Pada tahun 1832, komunitas Halmahera atau Tidore kembali ke tanah asalnya karena Sulltan Jailolo ditangkap Hindia Belanda di Wahai lalu diasikan di Cianjur.
Lalu di tahun 1890, terjasi ekodus dari wilayah Salemang dan mereka diterima baik oleh warga Wahai lalu menetap di kawasan yang kini dikenal sebagai Kampung Hatui.
Setelah itu ada kesepakatan batas-batas negeri wahay yakni di sebelah utara perbatasan dengan Laut Seram, di timur dengan Petuanan Negeri Air besar, sebelah barat dengan Kali Putry/Petuananan Negeri Sawai dan sebelah selatan dengan Petuanan Negeri Adat Manusela.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H