Mohon tunggu...
Hana Fitriani
Hana Fitriani Mohon Tunggu... -

Mahasiswa Sistem Informasi Universitas Indonesia

Selanjutnya

Tutup

Catatan Artikel Utama

Aruna dan Lidahnya: Melihat Dunia Lewat Makanan

12 April 2015   13:15 Diperbarui: 17 Juni 2015   08:13 194
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Identitas buku:

·Judul: Aruna dan Lidahnya

·Pengarang: Laksmi Pamuntjak

·Penerbit: PT. Gramedia Pustaka Utama

·Tahun terbit: 2014

·Tebal buku: 427halaman

·Resensi:

Bagi Laksmi, makanan lebih dari sekedar pengenyang perut dan pemenuhan kebutuhan dasar. Dalam novel terbarunya yang berjudul Aruna dan Lidahnya, Laksmi menonjolkan suatu hal yang dia sangat sukai, makanan. Di sini, makanan digunakan sebagai sarana utama bagi Laksmi untuk menceritakan kehidupan dan polemik politik, persahabatan, cinta, dan perjalanan.

Aruna Rai adalah seorang perempuan berusia 35 tahun, masih bujang, dan bekerja sebagai ahli wabah di suatu Non-Government Organization (NGO) spesialisasi flu unggas. Sahabatnya, Bono, adalah seorang koki yang membangun restorannya sendiri. Usianya 30 tahun dan terlalu sibuk untuk menikah. Tokoh satu lagi adalah Nadezhda, seorang penulis dan kritikus makanan, keturunan Aceh-Prancis yang suka bolak-balik Indonesia-Eropa. Dalam buku ini, ketiga tokoh tersebut disatukan dalam satu alur cerita perjalanan yang melibatkan obsesi mereka: makanan.

Saat itu Aruna ditugaskan oleh kantornya untuk menyelidiki kasus flu burung di 8 kota di Indonesia. Dengan datangnya kesempatan itu, Aruna menggunakannya untuk sekalian mencicipi kuliner lokal di Indonesia bersama para sahabat karibnya. Di perjalanan dinasnya, ternyata mereka tidak hanya bertautan dengan makanan dan flu unggas, namun juga realita sosial yang menyatukan perbedaan antar manusia.

Yang menarik dari buku ini adalah, Laksmi benar-benar bisa membuat makanan sebagai primadona. Laksmi menampilkan perjalanan yang kaya atas ragam kuliner dari berbagai daerah seperti botok pakis dan rujak soto dari Surabaya, rujak pisang batu dari Aceh, sampai pengkang-nya Pontianak. Lewat makanan itu, Laksmi menceritakan berbagai isu dan kehidupan sosial yang cukup kompleks dengan cara yang unik dan sederhana. Contohnya adalah kisah Cek Mia yang berjualan gulo puan di Masjid Agung Aceh:

“Mau tahu apa itu sukses? Nih. Aku akan jadi juragan gulo puan, aku akan mengoleksi segala bentuk keberanian, dan begitu aku sudah tajir dan tersohor akan kuceraikan kau!”

Dalam kisah tersebut, ditekankan bagaimana sebuah gulo puan menjadi motivasi kuat Cek Mia untuk berani dan bebas dari suaminya.

Karena makanan menjadi ciri utama buku ini, Laksmi memberikan penataan deskripsi yang rinci. Di sini, Laksmi mampu memberikan deskripsi yang baik terhadap suatu makanan sehingga memunculkan citra visual yang bagus. Tidak hanya itu, dialog antartokoh juga semakin memperkuat rasa makanan lewat tulisan, seakan-akan pembaca juga ikut mencicipi beragam kuliner tersebut. Salah satunya adalah

“Sialan,” kata Bono. “Berkali-kali aku keliling bistro di Prancis, belum tentu aku menemukan duck coffit yang bener-bener oke. Padahal itu tradisi mereka. Eh, sekalinya aku ke Bangkalan, aku menemukan tekstur mirip confit yang akan membuat chef Prancis manapun terpana!”

Dinamika sosial dan budaya yang dialami oleh tokoh dan perjalanan kulinernya di Indonesia juga memberikan pandangan tentang apa yang terjadi di dunia. Orang-orang bisa saling bacok, ekonomi bisa amburadul, politikus bisa korup, pasar bisa anjlok, tapi orang tetap memasak dan memberi makan satu sama lain.

Gaya penulisan dan bercerita Laksmi cukup kasual dan menarik, terutama pada dialog antartokoh. Namun pada ¼ bagian terakhir, Laksmi kurang memainkan kecepatan bercerita sehingga emosi pembaca menjadi bosan dan menantikan klimaks. Sayangnya, klimaks yang diberikan tidak sesuai ekspektasi karena fokus cerita ada pada kulinernya. Kasus flu unggas yang mengarahkan jalan cerita juga tidak terlalukaya dengan dinamika sehingga terkesan konstan. Seandainya Laksmi bisa memainkan kecepatan bercerita dan memberikan klimaks yang lebih baik, saya yakin karya ini akan jadi jauh lebih baik.

Cerita ini sebenarnya sudah direncanakan oleh Laksmi sejak tahun 2005, saat kasus flu unggas merebak. Saat itu flu unggas menjadi ajang permainan politik. Hal inilah yang menginspirasi Laksmi membuat karya ini. Namun sayangnya, ketika diluncurkan pada tahun 2014, cerita tentang kasus flu unggas kurang relevan lagi sehingga terasa agak basi ketika tokoh malah mempermasalahkan flu unggas.

Secara garis besar, karya ini berhasil memberikan gambaran kuliner Indonesia dengan menarik dan dekat. Hal ini menunjukkan kompetensi Laksmi sebagai penikmat kuliner dan penulis panduan makanan. Apabila Laksmi bisa memainkan kecepatan bercerita, maka emosi pembaca bisa lebih terhanyut dalam kisah dan akan menjadi karya yang baik. (Hana Fitriani)

Mohon tunggu...

Lihat Catatan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun