Mohon tunggu...
Fitria Dwi Rahayu
Fitria Dwi Rahayu Mohon Tunggu... -

Belom jadi Sarjana. Masih jadi mahasiswa di Universitas Mercu Buana, anak FIKOM ngambil Public Relations. Tapi nantinya pengen jadi Jurnalis.

Selanjutnya

Tutup

Lyfe

Mengaitkan Politik dengan Agama Menghancurkan Keberagaman

16 April 2017   15:05 Diperbarui: 17 April 2017   00:00 778
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Sungguh mengerikan pilkada DKI periode ini. Betapa tidak, karena semua cara dianggap sah demi mendapat posisi yang katanya akan mampu menyejahterakan rakyat. Mengumbar janji ini-itu demi mencuri hati masyarakat. Mengeksploitasi media untuk mendapatkan citra yang baik di mata publik. Menciptakan propaganda untuk menggiring opini khalayak agar berpihak. Tapi bukankah politik memang seperti itu? Tidak akan beranjak jika tidak menginjak? 

Tapi kali ini lain, seperti mereka sudah tak takut lagi pada Tuhan-nya, mengatasnamakan Tuhan demi kedudukan yang tak jarang tak amanah, seolah-olah mereka suci menggurui seseorang agar berpihak pada yang menurut mereka benar (bukankah semua Agama membenarkan Agamanya masing-masing?). Tiba-tiba menjadi hakim dadakan bak Tuhan yang menghakimi umatnya. Jika bicara soal Tuhan dan Agama, itu adalah bentuk komunikasi interpersonal antara hati kita dan sang Pencipta. Tidak bisa jika urusan ketuhanan dilibatkan pada kepentingan politik. Apalagi Indonesia adalah negara yang memiliki keberagaman kepercayaan yang cukup banyak. Politik dan Agama adalah 2 hal yang berbeda, tidak bisa jika politik dibenturkan pada agama. Hal itu hanya akan memecah-belah NKRI.

Aristoteles mengatakan bahwa politik merupakan seni dan ilmu untuk meraih kekuasaan konstitusional / nonkonstitusional. Dari sudut pandang berbeda, politik berarti sebuah usaha yang ditempuh warga negara untuk mewujudkan kepentingan bersama. 

Sedangkan agama, agama menurut KBBI merupakan sistem yang mengatur kepercayaan dan keimanan serta peribadahan pada Tuhan dan kaidah yang berkaitan dengan lingkungan pergaulan manusia. 

Yang salah kaprah adalah, kata "meraih kekuasaan" yang dikemukakan oleh Aristoteles seolah membutakan mereka yang haus jabatan, sehingga agama yang bahkan merupakan kepercayaan seseorang dijadikan senjata. Mayoritas penduduk Jakarta, bahkan Indonesia adalah Muslim, pemeluk agama Islam. Maka momentum mayoritas ini menjadi senjata ampuh untuk menjatuhkan lawan politik yang berkeyakinan lain. Benar seperti apa kata Soe Hok Gie, "masih terlalu banyak kaum munafik yang berkuasa. Orang yang pura-pura suci dan mengatasnamakan Tuhan".  

Dampaknya perpecahan dimana-mana, antar umat beragama saling intoleransi. Sungguh bukan NKRI yang sebenarnya  yang seperti dikatakan oleh Bapak Proklamasi kita "Indonesia bukan miliki suatu golongan, bukan milik suatu agama, Indonesia milik bersama dari Sabang sampai Merauke". 

Ini bukan soal saya Anies atau saya Ahok, karena saya warga Bandung. Tapi ini soal akal sehat dan hati. Sudahi lah mengait-ngaitkan politik dengan agama, perselisihan hanya akan menghancurkan keberagaman Indonesia. Lagipula apa yang kita percaya benar belum tentu benar pula untuk orang lain. Dan Agama adalah urusan hati masing-masing. Jika Muslim, kita pegang Surat Al-Kafirun ayat 6 "untukmu Agamamu, dan untukkulah Agamaku". 

Ayo open-minded! Ayo kita Objektif!

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Lyfe Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun