Pontianak, sore itu udara pengap oleh asap hutan yang terbakar. Ruang tunggu Bandara Supadio lumayan sesak oleh orang orang yang bercengkerama dengan ketidak pastian. Kata delay menjadi kosa kata yang tiba tiba akrab di telinga semua orang. Sebagian memoles dengan wajah memelas.
Aku merangsek kesebuah kursi kosong. Bersebelahan dengan bapak bapak yang kemudian aku tahu namanya Mas Be, seorang penyelia di sebuah perusahaan pertambangan bouksit di pedalaman Kalimantan. Ceritapun dimulai.
“Aku punya sekitar seribu buruh kasar dari Cina, Mas” katanya membuka percakapan. Lah, banyak amat, pikirku. Mosok cuma buruh kasar saja harus impor dari Cina, emang Indonesia sudah kekurangan buruh tambang? Pikiranku melompat lompat liar, mencoba menjinakkan ketidak mengertianku akan cara berpikir Mas Be ini. Sesekali aku memakai lagak bicara sinis karena didorong oleh rasa nasionalisme ku yang terbangun dari hasil lomba panjat pinang setiap Agustusan.
Mas Be menjelaskan sehati hati mungkin. Sepertinya takut di cap sebagai pendukungnya Jokowi yang konon akan mengimpor tenaga kasar dari manca negara. Diksinya ditata sebagus mungkin untuk mengurangi kesalah pahaman dengan orang yang baru saja dikenalnya. “Buruh dari Cina itu dalam pandangan saya, setengah manusia setengah robot, Mas” kata Mas Be mencoba menjelaskan. Maksudnya? Mereka bekerja selalu tepat waktu. Tidak pernah ada yang terlambat satupun. Saya tidak pernah menegur, mereka sudah tahu soal kedisiplinan. Saya tidak pernah mengarahkan, mereka sudah amat paham dengan semesta pekerjaanya. Mereka mulai bekerja jam delapan pagi, thit, dan baru istirahat pada jam 12 siang, tanpa henti. Mereka makan setengah jam. Setelah itu tidur setengah jam. Semua tidur. Tidak ada yang ngrumpi, merokok, atau mainan HP. Jam satu tepat mereka bangun dan bekerja lagi tanpa henti sampai jam 16. “Wow”, bibirku monyong mendengarkan penjelasannya.
“Berapa sampeyan membayar mereka? Tanya saya. “Sepuluh juta”. Penasaran dong, lalu saya bertanya lagi “Berapa sampeyan membayar buruh tambang lokal?”. “Saya membayar sesuai aturan yang ada” Jawabnya. Sesuai dengan keputusan Gubernur, UMP di daerah itu, sekitar Rp .1450.000. Hmmmmm….
Melihat selisih bayaran antara mereka nasionalisku hampir menyala.Mungkin Mas be melihat reaksiku terlalu merah putih. “Nanti dulu” katanya… Anda musti saya jelaskan hasil kereja mereka. Saya ini orang bisnis, katanya, jadi harus melihat segala sesuatunya dengan cara pikir bisnis. Anda tahu, biji bouksit yang dikumpulkan oleh tenaga kereja dari Cina ini sekarang menggunung, selangit, tinggiiii sekaliiii, puluhan kali lipat dari biji bouksit yang dikumpulkan soudara saudaraku buruh lokal. Secara ekonomis, perusahaan lebih untung mempekerjakan tenaga kerja asing dari Cina, karena cara kerja mereka sistematik, disiplin dan fokus. Hmmmmm… wawasanku agak meluas sedikit….
Apakah tidak ada persoalan sosial yang timbul diantara mereka? Tanyaku. Ternyata Mas Be sudah mempelajari hal itu sejak lama dan tidak ada persoalan yang berarti. Bahkan perusahaan juga menawarkan kepada para buruh tambang lokal, kepada siapapun yang mampu bekerja dengan cara yang sama (dengan tenaga kereja dari China), akan digaji dengan gaji yang sama. Tetapi sampai beberapa bulan ini, tidak terjadi modeling dalam hal budaya kerja. Yang mengherankan, justru para pekerja lokal dan orang orang di sekitar pertambangan menjadikan timbunan biji bouksit hasil timbunan tenaga kerja asing ini sebagai tempat wisata potografi. Mereka beramai ramai melakukan selfie dengan latar belakang timbunan biji bouksit yang membukit, hasil kerja tenaga kerja asing ini. Sekali lagi saya cuma bisa bilang wow…
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H