Mohon tunggu...
Budi Sarwono
Budi Sarwono Mohon Tunggu... Dosen -

Staf pengajar di Universitas Sanata Dharma Yogyakarta

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Pilihan

Panduan Memilih Menantu

24 Oktober 2015   13:21 Diperbarui: 24 Oktober 2015   13:46 255
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Humaniora. Sumber ilustrasi: PEXELS/San Fermin Pamplona

Bobot, bibit dan bebet seperti telah menjadi mantra bagi para bendoro jaman dulu untuk memilih menantu. Konon, memilih menantu tidak boleh mengabaikan aspek kualitas diri (bobot), aspek genetis (bibit) dan aspek sosial ekonomis (bebet) sang calon. Dalam kungkungan mantra seperti itu, perkawinan menjadi peristiwa eksklusif pada kelas sosial yang sama. Sepanjang sejarah, peristiwa perkawinan tidak pernah mencerminkan sebuah lompatan sosial. Para pemuda kampung tidak pernah lagi berani bermimpi untuk meminang putri orang kaya, terkecuali pemuda desa seperti dalam cerita kethoprak.

Pada belahan waktu berikutnya, terjadi pertentangan pada prinsip-prinsip asimetris itu. Filsafat humanisme yang berkembang jaman itu menyiratkan wacana bahwa bobot, bibit dan bebet sama sekali nggak penting untuk memulai sebuah mahligai perkawinan. Cinta dan kesaling percayaan adalah kunci menuju sukses omah-omah (berumah tangga).

Dalam dua perbedaan pendapat itu, tulisan ini memiliki opininya sendiri. Pertama, memandang prinsip bobot, bibit bebet harus dilepaskan dari bingkai percakapan sosial, terutama menyangkut masyarakat yang dibagi dalam kelas kelas. Sebab percakapan kelas sosial dalam konteks ini justru akan menjadi pengganggu dalam usaha untuk memahami esensi ketiga prinsip itu. Kedua, tidak benar juga, bahwa bibit, bobot, bebet nggak penting sebagai modal dalam membina rumah tangga. Ketiganya penting, dan amat penting. Berikut penjelasannya…

Kualitas diri (bobot) calon menantu adalah hal paling elementer untuk dipertimbangkan. Dengan kualitas diri yang baik bahtera rumah tangga akan resilien (kenyal, kuat, tangguh) sehingga mampu menahan terpaan gelombang yang beraneka macam. Sebaliknya, pribadi yang rapuh, jiwa yang penuh luka akan segera ambyar hanya oleh terpaan gelombang kecil. Pendeknya, kualitas diri akan menentukan tingkat ketangguhan biduk rumah tangga anak anak kita.
Bibit (aspek genetis) adalah hal penting kedua untuk dipertimbangkan. Albert Ellis adalah seorang psikolog yang percaya bahwa kepribadian itu sebagian diturunkan dari orang tuanya. Meskipun tidak 100% tepat, kita acap kali bisa menyimpulkan perilaku seorang anak setelah mengenal orang tuanya. Biasanya kesimpulan itu ditandai degan kalimat seperti ini “ooh… pantesan anaknya kayak gitu”. Kalimat semacam itu hanya menegaskan bahwa anda paham buah tak akan jatuh jauh dari pohonnya. Sekali lagi, banyak anomali di sini, banyak penyimpangan, banyak yang tidak begitu.

Hal ketiga adalah bebet (aspek sosial ekonomis). Pada keluarga modern, modal sosial dan modal ekonomis lebih banyak dibangun bersama sama pasca perkawinan. Banyak keluarga sukses mengawali bersama dari titik nol. Yang penting mereka berdua memiliki visi akan masa depan (teleologis). Visi teleologis ini menurut Psikolog Adler akan menjadi modal simpanan yang bermakna untuk mengumpulkan modal sosial dan modal ekonomis. Kalau sudah begitu, orang tua akan ikhlas melepas biduk yang baru untuk kembali nanti sebagai kapal tanker yang penuh kemuliaan.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun