Berita ice cream tiba tiba menyeruak ditengah jagad pemberitaan, menggeser topik pedophilia yang mengiris. Ice cream yang pada abad pertengahan menjadi hidangan para raja itu tiba tiba muncul pongah di tengah taman yang porak poranda. Ditimpali seorang walikota yang meradang bak banteng ketaton. Pasti taman adalah bagian penting bagi hidupnya.
Apa urgensi sepotong ice cream bagi Anda? Mungkin tidak ada. Tapi bagi sebagian orang, ice cream gratis itu seksi. Benarkah mereka yang berebut ice cream di Taman Bungkul Surabaya itu tak mampu membelinya? Tidak juga. Karena Ice cream yang dibagikan oleh Unilever itu harga terendah. So energi apa yang menggerakkan mereka berebut di atas tanaman yang dicintai ibunya?
Sepotong ice cream bisa melecut nafsu badaniah untuk berjejal hingga memporak porandakan taman kota terbaik se Asia Tenggara, hingga kebanggaan warga kota itu rusak, terinjak anak anak yang berebut puding salju itu. Ini bukan sekedar fenomena sosial ekonomi, tetapi bergesernya cara berpikir masyarakat tentang kehidupan.
Bagi saya, fenomena ini menandai kemenangan neokapitalisme dan neoliberalisme atas pikiran warga kota. Di benak saya ice cream itu simbul kapitalisme. Ia dibuat dari bahan pilihan, tapi gampang leleh. Sehingga harus dikurung dalam ruang berpendingin yang merusak lingkungan. Pada jaman dahulu raja raja mempekerjakan banyak orang untuk memilih salju terbaik sebagai bahan sajian “cream ice” kegemarannya. Saat ini harga Ice cream termurah (seperti yang dibagi di Taman Bungkul) seharga seperlima hargasekilo beras. Dari awal sejarahnya ice cream tercipta sebagai simbul kehidupan gelamor, merusak lingkungan dan tidak berpihak pada si miskin. Itulah roh neo kapitalisme.
Ice cream di Taman Bungkul, dalam pandangan David Carruters barangkali adalah simbul kemenangan neoliberalisme atas pikiran Bu Wali. Carruters menegaskan bahwa freedom atau kebebasan adalah nilai sosial tertinggi. Kewenangan negara harus minimal, dan kebebasan individu harus maksimal. Pemimpin dilarang memaksakan utopia tunggal. (Supratiknya, 2014)
Taman Bungkul adalah korban dari pemikiran di atas. Event pembagian ice cream itu belum mengantongi ijin dari Wali Kota Risma Harini, tapi apa pedulinya, prosedur perijinan adalah bentuk dominasi pemerintah yang mengurangi kebebasan warganya. Dalam pranata neolib hal semacam itu bisa diabaikan. Maka meski tanpa ijin, event itu berjalan juga.
Uniknya, Unilever mendirikan bendera libaralisme tepat di jantung pemikiran baru yang diperjuangkan Wali Kota Risma Harini.Risma selama ini menganggap taman kota itu penting, sepenting Perda yang meregulasi kehidupan banyak orang. Sepenting Pancasila yang menjadi jiwa semua anak bangsa. Jauh sebelum menjadi walikota, Risma sudah berjuang untuk taman kota
Jika boleh mengklarifikasi pikiran Risma, mungkin ia berpikir warga kota harus sehat, mereka perlu paru paru kota, mereka perlu lintasan untuk berjalan jalan dikala senggang, mereka butuh bersosialisasi, mereka butuh tempat bermain yang nyaman, mereka butuh udara bersih setidaknya seminggu sekali, maka diciptakannya Taman Bungkul yang indah itu. Pemikiran itu diakui atau tidak adalah sebuah pemikiran dengan pendekatan spiritual. Siapapun yang dekat dengan alam memiliki kedekatan dengan yang menciptakan alam.
Lelehan ice cream di taman kota di Surabaya itu menandai perbenturan ideologi Neokapitalisme yang bergandeng tangan dengan Neo Liberalisme berseteru melawan simbul simbul Spiritualisme baru. Batang batang pohon yang roboh di tanah dan rantingnya yang menjuntai dilibas sepatu hanyalah saksi atas keringnya spiritualitas warga kota, sekaligus menunjukkan betapa dahaga mereka akan simbul simbul kapital yang mengejawantah dalam kebebasan diri dan meminimalisir dominasi pemerintah atas regulasi hidup bersama. Dimana pikiran Anda berpihak?
R. Budi Sarwono, M.A.
Universitas Sanata Dharma
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H