Oleh: Y. B. Inocenty Loe
Solo itu di Jawa tengah. Sedangkan kupang, di NTT, timur Indonesia, surganya para pencinta kehidupan. Yah, orang kupang memang pencinta kehidupan. Setidaknya takut mati. Kalau ada yang mati, menangisnya minta ampun. Dukanya bertahun-tahun. Bukankah semua yang hidup harus mati. Kematian adalah cara merayakan kehidupan abadi kan?
Itu tadi tentang Kupang. Aku ingin bercerita tentang solo, kota seribu tanda tanya. Yang selalu membuatku bertanya-tanya. Tentang mengapa keramahan itu harus dengan suara yang halus. Orang Kupang percaya bahwa  kejamnya batu karang hanya bisa diatasi dengan kerasnya palu komitmen dan peliknya panas matahari dapat diatasi dengan buang jauh-jauh sikap cengeng dan acuh tak acuh.
Di Solo ini, aku belajar bahwa panasnya hati dapat diatasi dengan kelembutan suara. Bahwa semua yang rumit bisa menjadi bermakna, lihatlah kerumitan ukiran batik solo. Indah bukan, terkenal seantero dunia. Di kota ini, aku belum menemukan kenangan rintik-rintik hujan, yang menuliskan cerita cinta daun pada pepohonan. Juga, belum kudapati senyuman pohon sepe, yang mengisahkan kuncup-kuncup rindu untuk selalu bersama.
Tetapi yang pasti, di kota seribu tanya ini, kutemukan diriku, bukan untuk sekedar minum kopi, tetapi untuk menjawabi pertanyaan tentang kehidupan. Cinta akan kehidupan selalu dimulai dengan pertanyaan. Dan semua pertanyaan tidak pernah akan memberikan jawaban. Karena itu, kau butuh belajar, mati untuk hidup kembali.
Solo (Jebres), 23 February 2024
Ingin kucintai dirimu dalam diam dan harapku
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H