Mohon tunggu...
Ingrid Jiu
Ingrid Jiu Mohon Tunggu... -

I want to be a Great Writer.

Selanjutnya

Tutup

Cerpen Pilihan

"Sandal Jepit"

13 April 2016   21:53 Diperbarui: 13 April 2016   22:00 114
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Kategori, Cerpen;Fiksimini

 

“Sandal Jepit”

Saya pikir tidak ada seorang pun yang tidak mengenal sandal jepit. Atau yang biasa disebut sebagai sandal jepang, berwarna-warni yang terbuat dari karet sintetis dengan tali berbentuk huruf V yang menghubungkan bagian depan dan bagian belakang. Dan bagian bawah sandal adalah rata, sementara bagian atas tidaklah memiliki penutup.

Seperti biasa, setiap pagi. Di taman ini, tepatnya di taman belakang rumah saya. Saya akan menggelar sebuah meja dengan dua buah kursi kayu. Lalu, menyeduh dua cangkir kopi putih. Sepiring kecil potongan buah pepaya, kadang diselingin irisan apel, atau melon, atau anggur sekali-kali, dengan dua buah telur goreng mata sapi disiram sedikit kecap asin. Lalu, saya akan duduk di kursi, dan membiarkan kursi satunya lagi kosong. Namun saya meletakkan sepasang sandal jepit berwarna merah di bawah nya.

Usai itu, saya akan memulai acara sarapan pagi. Sambil berceloteh sendiri, menatap bunga-bunga bermekaran, kupu-kupu beterbangan, kodok melompat mencari makan, ikan di dalam kolam yang berenang ke sana dan ke sini, bahkan kian kemari. Pepohonan hijau menjulang tinggi, dedaunan melambai ditiup angin, hingga buah-buahan yang bergelantungan di atas dahan pohon yang satu dengan yang lain.

Dan kemudian, saya akan merasa senang sekali. Seakan-akan saya tengah merasakan kehadiran nya di sini. Yah, kehadiran seseorang yang hingga kini masih tertambat di saya punya hati. Namun, hampir di setiap akhir acara sarapan pagi, tidak tahu kenapa saya selalu mengakhiri nya dengan wajah yang basah? Serasa ada rindu yang tak tertahankan di rongga dada, dan semakin saya menahan nya semakin pula rindu itu menguak di hati saya. Entahlah. 


Saya merasa sangat kehilangan. Bukan benda, bukan barang, bukan baju ataupun pakaian, bukan alat pancingan, bukan pula buku atau apa saja. Namun saya kehilangan seseorang yang bernyawa. Seseorang yang setiap hari nya di mana saya berada dia pun berada, begitu sebaliknya, di mana dia berada di situ pula saya berada.

Hingga di suatu pagi saya marah sekali. Tatkala bangun pagi dan hendak menggelar meja untuk bersarapan pagi. Sandal jepit berwarna merah itu hilang entah kemana? Saya sudah mencari nya ke mana-mana. Di kolong meja, di toilet, di dalam laci, di rak sepatu, di kitchen set, di kamar tidur, di setiap sudut rumah, hingga di lemari baju sekalipun. Namun, saya tetap tak menemukan nya. Saya malah curiga jikalau putri saya yang telah menyembunyikan nya.

Lebih marah lagi, ketika putri saya memanggil seorang Psikiater untuk memeriksa saya. Memang nya Ayah ini orang gila, stres atau depresi? Hah? Begitu Tanya saya dengan ketus. Selepas itu, saya masuk ke kamar sambil membanting pintu. Duduk berdiam diri di atas pembaringan, dan menundukkan kepala, dengan wajah basah saya berusaha menenangkan diri saya semampunya. Terakhir, saya hanya melihat putri saya tengah menatap saya sambil berlinangkan air mata. Entahlah. Saya sungguh marah dan tidak memperdulikan nya. Sementara di satu pihak, saya sadar bahwa saya telah melukainya.

Namun, tahukah kau? Siapakah pemilik sandal jepit itu? Saya sebenarnya sangat sedih di kala harus mengakui. Dia tak lain adalah istri saya. Seorang wanita yang sangat saya cintai seumur hidup saya. Dia telah menemaniku lebih dari berpuluh-puluh tahun lama nya. Dan telah memberikan saya seorang putri yang cantik nan jelita. Di setiap pagi, ia akan mengenakan sandal jepit berwarna merah. Menggelar meja dengan dua buah kursi kayu di taman belakang rumah. Menyeduh dua cangkir kopi putih, sepiring kecil berisi potongan pepaya, kadang diselingi irisan apel, atau melon, atau anggur sekali-kali. Lengkap dengan dua buah telur goreng mata sapi disiram sedikit kecap asin. Lalu dia duduk di kursi, dan saya di kursi satu nya. Lalu kami akan mulai bersarapan pagi sambil kerap bercerita, dari topik yang satu hingga ke topik apa saja. Dalam canda dalam tawa, penuh harum penuh senyum.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun