Tidak dapat kita pungkiri bersama, zaman sekarang perilaku konsumerisme semakin meningkat. Hal ini tidak terlepas dari pengaruh kapitalisme yang dihantarkan melalui media media yang ada, yang dikemas dalam bentuk gambar diam maupun bergerak. Ya, sebut saja iklan. Semua orang dirasa tahu dan mengenal apa itu iklan dan pastinya pernah melihat iklan. Fungsional iklan itu sendiri jelas untuk mempromosikan suatu barang, dibuat semenarik mungkin agar konsumen tertarik dan mau membelinya. Mulai dari iklan yang hanya selembar kertas berbentuk flyer atau poster yang biasa disebar atau dipasang dijalanan, maupun iklan yang berbentuk gambar bergerak atau video yang biasa menari-nari indah di televisi kita.
“Apa yang dibeli bukan berarti apa yang dibutuhkan” mungkin kata-kata itulah yang tepat untuk melihat budaya konsumtif hari ini. Pakaian, sepatu, tas, gadget, makanan, minuman, shampoo, sabun mandi, pasta gigi, kosmetik dan produk lainnya bertebaran dimana-mana dengan brand yang berbeda-beda. Dikemas dan dipromosikan dalam bentuk iklan dengan cara yang berbeda-beda juga. Jumlah iklan sudah tak berbatas dan bervariasi tentunya, tiap brand akan berlomba-lomba menarik khalayak. Artis-artis terkenal biasa digunakan untuk menjadi model iklan, disetting dengan seolah-olah bercerita pengalaman memakai produk tersebut. Hal ini tentunya bertujuan untuk mensugesti khalayak untuk menjadi seperti artis tersebut. Sehingga menimbulkan efek khalayak akan membeli produk yang sama dengan yang dipakai artis tersebut.
Setiap iklan pastilah dibuat semenarik mungkin, merangkai kata dan memanipulasi visual untuk membuat khalayak tertarik. Misalnya saja iklan produk pelembab muka, dengan bermodalkan kalimat “Membuat kulit tampak lebih cerah” akan membuat khalayak yang mengidamkan kulit lebih cerah merasa terpanggil untuk membeli produk tersebut. Padahal, masih ada tulisan kecil “jika pemakaian teratur”. Belum lagi persepsi yang dibuat oleh iklan itu sendiri, membentuk pandangan bahwa cantik itu yang berkulit cerah dan mulus, pastilah produk produk pemulus dan pemutih akan laku diserbu jika persepsi yang dimiliki semua orang serupa. Kemudian contoh lain misalnya, iklan alat-alat masak yang praktis. Pisau mutifungsi misalnya, tersedia dalam banyak ukuran yang dijual dalam 1 set bonus satu buah gunting, yang tajam dan bisa mengiris secara tipis, dan semua itu dibandrol dengan harga ratusan. Padahal jika dipikir kembali, semua pisau jika tajam pastilah bisa utnuk mengiris, tidak perlu mengeluarkan uang beratus-ratus rupiah.
Dapat diingat iklan akan berpengaruh besar terhadap perilaku konsumtif khalayak. Khalayak sendirilah yang perlu berhati-hati dalam menyaring segala jenis iklan sesuai dengan kebutuhan yang memang dibutuhkan dan menjadi skala prioritas. Kurangi budaya konsumtif, dengan membeli apa yang dibutuhkan dan menggunakan produk yang memang dan masih layak digunakan “Gak mesti baru yang penting bermutu”.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H