Mohon tunggu...
Ahmad Setiawan
Ahmad Setiawan Mohon Tunggu... Editor - merawat keluarga merawat bangsa

kepala keluarga dan pekerja media

Selanjutnya

Tutup

Cerpen Pilihan

Mampir Ke New York

13 Agustus 2014   19:11 Diperbarui: 18 Juni 2015   03:39 66
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Cerpen. Sumber ilustrasi: Unsplash

Ruangan ini masih seperti yang dulu. Penuh rasa curiga dan kaku. Dua kamera cctv di sudut-sudut langit-langit diarahkan ke deretan bangku-bangku. Tempat aku duduk di situ. Tak jauh hadapan bangku-bangku itu ada empat loket. Seluruhnya dibatasi kaca transparan yang cukup tebal. Juga kedap suara. Butuh alat pengeras suara bagi petugas di seberang sana untuk berkomunikasi dengan kami: para pemohon visa Amerika. Bisa jadi itu kaca antipeluru.

Kalau dipikir-pikir, kaca tebal itu apa gunanya? Semua orang yang berada di ruangan ini sudah dibersihkan dari benda-benda yang bisa mengancam nyawa. Terutama segala anasir logam. Semua harus dititipkan di pos jaga satpam. Tak boleh membawa telepon genggam, laptop, ikat pinggang berkepala logam, jam tangan, hingga kunci mobil. Mungkin hanya kawat gigi atau gigi baja yang boleh kau bawa ke tempat ini.

Suasana juga terlalu sepi. Inilah yang kubenci. Televisi di sebelah kiri kursi kami menyala tanpa suara. Demikian pula dengan sembilan orang di ruangan ini. Padahal aku butuh keramaian. Aku butuh suara-suara untuk membuatku terus terjaga. Begadang semalaman untuk menyelesaikan artikel yang nyaris melampaui tenggat waktu sungguh membuat mata ini terasa berat di waktu yang tak tepat. Batinku pun tersiksa sangat.

Tak lama, apa yang aku butuhkan ternyata dikabulkan. Seorang perempuan berkulit hitam, dengan tubuh besar dan rambut gimbal, membuka salah satu tirai biru yang menutupi loket-loket itu. Ia menyebutkan angka melalui alat pengeras suara. Sedetik kemudian seorang lelaki perlente bersetelan jas lengkap berdiri dan berjalan menghadapnya. Lalu tangan lelaki itu bergerak-gerak di atas mesin pemindai sesuai instruksi si perempuan berambut gimbal.

Kulihat beberapa orang mengalihkan pandangannya dari televisi ke lelaki itu. Mungkin mereka ingin tahu karena mereka baru melihat proses itu. Sementara aku lebih memilih untuk mencermati nomor milikku. Dibandingkan dengan nomor si perlente itu, berarti aku berada di urutan ke delapan dari sembilan orang. Masa penantian yang cukup lama bagi orang yang sedang diserang hasrat ketidur-tiduran sepertiku.

Aku ingin terus terjaga. Untuk itu aku harus bisa mengalihkan dan menyibukkan pikiran dengan apapun. Aku mencoba melirik rak buku yang berada di belakang bangku. Isinya hanya majalah, brosur usang dan koran yang tidak bisa dibilang baru. Ciri khas ruang tunggu yang menyepelekan tamu. Ingin kuambil salah satu bacaan itu, otakku melarangnya. Dalam serangan rasa kantuk yang sedemikian hebatnya, membaca hanya akan mempercepat mataku terpejam hingga berjam-jam.

Aku mencari alternatif lain untuk mengusir kecupetanku ini. Agak menjauh dari rak dan hanya dipisahkan oleh pintu tempat kami masuk, berdiri sebuah dispenser dengan galon berisi air mineral di atasnya. Sayang, tak tersedia kopi. Juga teh. Bila ada tentu itu sangat membantu orang-orang sepertiku.

Aku sempat berpikir untuk menghilangkan rasa kantuk ini dengan meminum saja sebanyak-banyaknya air mineral itu. Tapi niatku tertahan. Aku tak melihat ada kamar kecil untuk buang air di ruangan itu. Lucu. Mereka menyiapkan minuman di ruangan yang dingin ini tanpa menyediakan tempat pembuangannya.

Satu-satunya kamar kecil yang ada di ruangan itu kini telah dimasuki lelaki perlente tadi. Di dalam kamar berpintu tipis itulah dia akan ditanya-tanyai. Hampir seperti diinterogasi. Penanya itu akan bertanya-tanya dalam bahasa Inggris Amerika. Demikian pula dengan jawaban kami. Bila si penanya sudah selesai dengan semua pertanyaannya, maka ia akan menyodorkan secuil kertas. Isinya: berupa paraf yang ia bubuhkan dan tanggal pengambilan paspor yang sudah ditera visa Amerika. Aku tahu karena proses itu pernah aku jalani tiga tahun yang lalu.

Tetapi, itu bila permohonan visa disetujui. Bila tidak? Entahlah. Aku belum pernah mengalaminya.

*******

Dalam bus greyhound menuju New York, aku berkenalan dengan Aranka. Sempat aku berpikir ia berasal dari Asia Selatan. Dugaanku salah. Ia ternyata warga negara Myanmar. Aranka berasal dari etnis Rohingya. Ia dan sejumlah pegiat kemanusiaan dari Asia lainnya akan bergabung untuk berdemonstrasi di depan kantor PBB di New York. Di saat pemimpin rezim otoriter di negeri itu hadir untuk mengikuti sidang umum.

“Aku selalu iri dengan kehidupan demokrasi Indonesia dan toleransi warganya,” ujar Aranka.

“Terima kasih,” jawabku.

“Kau sendiri, untuk apa ke New York?” Lanjutnya.

“Aku?” Pikiranku langsung melayang ke Jakarta.

Seorang temanku pernah berkata, tak akan lengkap rasanya bila ke Amerika tanpa mampir ke New York. Ia berkata begitu setelah mengetahui bila dalam waktu dekat aku akan ke Washington, menjadi pembicara diskusi yang diadakan oleh komunitas WNI.

“Sempatkanlah ke New York. Jaraknya hanya 4 jam perjalanan dengan bis. Dari pada kau mati penasaran,” ujarnya saat itu.

Diam-diam aku menyetujui ucapannya. Aku pernah ke Washington. Saat masih menjadi wartawan dan ditugaskan meliput kunjungan kenegaraan Wakil Presiden. Sebuah kunjungan dengan jadwal yang padat dan tergesa-gesa. Dan itu membuatku termasuk dalam orang-orang yang kecewa karena rombongan tidak bisa mampir ke New York.

Padahal, New York menjadi obsesi rombongan wartawan pada saat itu. Juga untukku. Setidaknya bagi alam bawah sadarku. Setelah berpuluh-puluh kali atau mungkin ratusan kali, lanskap kota itu hadir dalam film-film Hollywood yang aku nikmati. Untuk bisa melampiaskan itu semua, aku lalu menyusun rencana perjalanan pulang pergi dan menyampaikannya ke panitia seminar. Tujuanku satu: begitu diskusi selesai, aku bisa melancong ke New York barang semalaman dan kembali lagi ke Washington untuk pulang.

“Karena kau melancong sendirian, aku sarankan kau untuk waspada. Ekonomi Amerika yang suram seperti sekarang ini membuat jumlah pengemis dan kriminal bertambah banyak. Mereka juga lebih agresif. Terutama terhadap kita, orang-orang berwajah Asia. Aku tahu dari berita,” ujar Aranka serius. Aku ikut serius. Kekhawatiran sempat membuncah, tetapi lenyap kemudian seiring bus yang kami tumpangi ditelan Lincoln Tunnel.

“Apakah kau mau bergabung bersama kami?” Secara mengejutkan Aranka mengajukan tawaran.

“Oh, eh, tidak. Terima kasih,” aku tersenyum untuk tidak membuatnya sakit hati.

“Baiklah. Kalau begitu kita akan berpisah sebentar lagi. Aku akan turun di Midtown. Di situ beberapa temanku sudah menunggu. Kalau kau, tempat apa yang menjadi tujuan pertamamu?”

Whitehall Terminal Manhattan South Ferry masih diterangi oleh cahaya matahari di sore hari. Setengah ragu aku mengikuti arus manusia memasuki mulut kapal feri yang menganga. Kebanyakan dari mereka adalah para pekerja yang hendak pulang menuju Staten Island. Beberapa ada juga yang bertujuan sama sepertiku, memandang patung Liberty yang termashur dari atas kapal feri itu. Secara gratis.

Satu jam lebih pulang pergi naik kapal feri, aku memasuki stasiun subway yang terletak di seberang pelabuhan. Tujuanku kali ini adalah Cortland Street. Sedikit tanya sana sini, tibalah aku di Century 21st Departemen Store. Kata kawanku, tempat itu merupakan pusat perbelanjaan favorit bagi turis asal Asia. Banyak barang sandang bermerek dijual di tempat itu dengan harga obral. Dan, kenyataannya memang tak jauh berbeda. Mata konsumtifku dan daftar titipan belanjaan istri dan sejumlah rekanan telah menahanku tiga jam lamanya di tempat itu.

Aku menuju Time Square di jalan Broadway saat gelap membekap langit malam New York. Taksi yang membawaku berhenti persis di depan deretan toko cenderamata. Beberapa di antaranya memajang tulisan: 3 kaos 10 dolar. Aku segera masuk ke situ. Suasana di dalam ternyata cukup ramai. Aku tersenyum sendiri saat menyadari kebanyakan pengunjung di toko-toko tersebut adalah turis dari Asia Timur, sementara mayoritas pelayan toko berwajah Asia Selatan. Lebih geli lagi saat aku cermati pernak pernik cenderamata Amerika yang nyaris semuanya berstempel made in China. Kecuali kaos dan semua jenis pakaian yang diimpor dari Meksiko.

Tetapi mengetahui itu semua tetap saja tidak bisa membuatku untuk berhenti berbelanja. Walaupun tas ransel sudah membludak dan kedua tanganku telah susah payah mengangkat beban oleh-oleh yang lumayan berat. Hingga waktu memberitahu bila saat itu sudah pukul 23.45 waktu New York. Itu saatnya aku harus berhenti dan bergegas menuju Sofitel Hotel. Aku sudah memesan sebuah kamardi tempat itu untuk bermalam.

Dari seorang polisi, aku tahu bila jalan yang akan kutempuh tak terlalu jauh. Aku berpikir jarak sejauh lima blok dapat aku dengan mudah sambil berjalan kaki. Pilihanku ternyata keliru. Berjalan sambil membawa barang belanjaan yang kelewat banyak bukan hanya menyulitkan, namun juga mengundang perhatian. Terutama dari para pengemis. Semakin aku jauh berjalan menjauhi Broadway, jumlah mereka semakin meningkat. Sementara para pejalan kaki sepertiku yang berlalu lalang semakin langka. Demikian pula polisi.

Memasuki kawasan East Avenue suasana bertambah sepi. Pagar besi yang cukup tinggi untuk membatasi wilayah pejalan kaki dengan proyek pembangunan gedung yang belum selesai di sepanjang jalan membuat trotoar layaknya lorong gelap tak berpenghuni. Di jalan raya mobil yang melintas juga hanya satu dua. Alarm di tubuhku segera bereaksi agar aku balik arah menuju tempatku semula. Namun, badanku yang lelah, juga pikiranku, menolak peringatan itu. Ia menyuruhku untuk terus berjalan dengan kesiagaan yang bertambah.

Semakin cepat aku melangkah, keramaian New York kian menghilang. Sampah-sampah plastik dan kertas yang dihalau angin terbang menyeberang jalan. Dingin menggigit. Gelap menyergap. Lubang gorong-gorong mengeluarkan asap putih tebal. Pohon-pohon dan tiang-tiang menjulang bak raksasa kurus dan hitam.

Entah dari mana munculnya, tiba-tiba seorang lelaki bertopi putih menyeringai aneh saat berpapasan denganku. Rasa curiga muncul saat mulutnya bersiul nyaring di belakangku. Betul saja. Di depan sana, dari sebuah bilah pagar besi yang berlubang, muncul dua orang lelaki lainnya. Baju dan penampilan mereka tidak jauh berbeda dengan pengemis-pengemis yang tadi banyak kujumpai. Aku segera teringat ucapan Aranka. Walaupun aku pernah belajar pencak silat Macan Kemayoran, tetap saja jantung ini berdenyut tidak karuan. Tubuh mereka bertiga yang jauh lebih besar dari badanku menjadi penyebabnya. Aku hanya berdoa semoga mereka tidak bersenjata.

“Hei kau! Dari mana asalmu? Banyak sekali barang-barang yang kau bawa? Sini aku bantu membawanya?” Dua lelaki itu kini menyemburkan kata-kata sambil berjalan di samping kanan kiriku. Aku mencoba tersenyum untuk mencairkan ketegangan. Namun wajah mereka tak membalas dengan ramah. Malah, dari arah belakang, lelaki yang tadi berpapasan denganku merampas tas plastik yang kubawa dengan tangan kiriku. Betullah dugaanku, mereka adalah para kriminal. Sebuah rencana perlawanan telah aku pikirkan. Aku lalu mengangsurkan tas plastik di tangan kanan kepada dua temannya yang lain.

“Kau mau ini? Ambillah!” Kataku kepada mereka. Melihat sikapku seperti itu, keduanya lantas bertatapan. Mereka seperti bingung.

“Ini Ambillah!”

Sambil tersenyum buaya, lelaki yang berkalung perak segera saja meraih tas di tangan kananku. Umpanku ditelannya. Secepat kilat aku menangkap dan menarik tangannya dengan berat tubuhku. Lelaki berkalung perak yang tidak menduga gerakanku hilang keseimbangan. Ia terhuyung ke arahku. Dengan telapak tangan kiri, aku menerjang sisi bawah dagunya ke arah langit. Gigi lelaki berkalung perak terdengar bergemeletak dengan keras. Satu orang jatuh terjengkang dengan suara mengerang.

Melihat itu, temannya yang mengenakan celana pendek selutut mundur sambil mencoba meraih sesuatu dari balik jaketnya. Aku yang sudah memiliki kuda-kuda segera menendang perutnya. Ia terdorong ke belakang. Belum lagi tubuhnya berdiri sempurna, aku merangsek. Tangan kananku meninju kelamin si celana pendek dengan kuat. Lelaki kedua itu rubuh dengan posisi bersimpuh.

Tetapi masih ada lelaki ketiga. Si topi putih itu menyerangku dari belakang. Sambil berteriak ia melompat dan menendang punggungku dengan hebat. Aku terlambat mengelak. Tubuhku terhuyung ke depan. Kepalaku membentur benda keras yang kukira itu adalah pagar besi.

Terdengar bunyi berdebuk dengan keras. Keningku sakit sekali. Aku mengerjap-ngerjapkan mata. Silau oleh cahaya terang membuat pusing kepalaku bertambah-tambah. Kepalaku ternyata membentur sandaran kursi. Suasana mendadak ramai. Di depan sana, aku melihat perempuan hitam dengan rambut gimbal tersenyum lebar. Nyaris tertawa. Demikian pula beberapa orang di sekelilingku. Aku segera memeriksa mulutku. Aku harap tidak berdarah, karena banyak sekali cairan yang keluar dari situ. Saat tanganku mengusap, segera kusadari cairan itu berwarna bening dan berbau. Sialan, itu cuma air liurku.

New York, 12 April 2009

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun