Hari Minggu (18/07/21) yang lalu, ketika melihat anak dan istri, saya disuguhkan dengan informasi orang yang katanya meninggal karena covid-19. Dengan ekspresi kecewa serta sinis, ibu mertua menerangkan bagaimana mereka mengenal orang yang meninggal itu.
Certitanya dimulai dari seorang bapak pensiunan PNS yang merupakan rekan satu sekolah dengan ibu mertua saya. Sejak dulu, mereka mengenal bapak ini sebagai seorang perokok aktif dan bisa menghabiskan 4-6 bungkus per harinya. Dalam kebiasaanya itu, ia sering kali sesak, sehingga keluarganya kadang melarangnya untuk merokok lagi.
Siapa sangka diumurnya yang sudah senja, ia sering sakit dan sesaknya itu menjadi-jadi. Hingga hari Sabtu, ia sudah mulai sekarat dengan napas satu-satu. Keluarga akhirnya memutuskan untuk membawanya ke rumah sakit. Tidak lama setelah masuk rumah sakit, ia menghembuskan nafas terakhir. Namun tidak lama kemudian pihak keluarga tidak diperkenankan membawa jasadnya, tetapi diinformasikan bahwa akan dikebumikan dengan protokoler kesehatan. Ternyata setelah masuk rumah sakit, pihak medis menyatakan bahwa bapak tersebut terinveksi covid-19.
Terlepas dari cerita di atas, masyarakat sekitar merasa gelisah sekaligus merasa aneh dan tidak percaya. Hal ini saya lihat bukan karena tidak ada alasan. Saya mengamati dari pembicaraan mereka, ada beberapa alasan yang mereka tampilkan:
- Apakah benar bapak itu terinveksi covid-19? Saat tetangga berkomunikasi dengan pihak keluarga, bapak ini tidak ada perjalanan ke tempat lain dan keluarga juga tidak ada ke tempat jauh. Menurut keluarga, indikasi bapak itu untuk terinveksi covid-19 sangatlah kecil.
- Sesak merupakan salah satu ciri-ciri orang yang terinveksi covid-19. Beliau yang juga sejak lama mengalami sesak, menjadi salah satu pertanyaan umum dari masyarakat, apakah itu juga dijadikan alasan penetapan beliau sebagai corban covid-19?
- Dengan tes apakah tim medis menyatakan beliau terinveksi covid-19? Untuk menyatakan dan menetapkan seseorang positif terinveksi covid-19, ia akan melewati beberapa tahap pemeriksaan, diantaranya Swab Antigen dan Real Time Polymerase Chain Reaction (RT PCR). Swab Antigen dalam beberapa pengalaman dan penjelasan para dokter, alat ini mendeteksi bukan hanya covid-19. Alat ini juga mendeteksi penyakit penyertanya. Biasanya kalau sudah positif di antigen, maka akan dipastikan lagi dengan RT PCR. Namun tes RT PCR tidak ada di pulau Nias dan hanya ada di Medan. Dalam hal ini, masyarakat bertanya apakah tes yang dilakukan tim gugus ini sudah pasti covid-19?
Dari ketiga alasan yang saya lihat dari pembicaraan mereka itu, kemudian saya melihat juga reaksi mereka yang mulai antipati dengan tim gugus. Reaksi nyata yang langsung tampak dari masyarakat adalah:
- Masyarakat tidak mau datang untuk berobat ke rumah sakit. Masyarakat takut dengan keadaan yang terjadi seperti diatas. Pikiran dan pemahaman mereka diset dengan pikiran bahwa jangan-jangan penyakit hanya demam dan bisa langsung dicovidkan.
- Masyarakat tidak mau dites/diswab. Setelah penguburan bapak yang tadi, beredar informasi bahwa akan dilakukan tes massal di desa tersebut. Para masyarakat banyak mengatakan tidak mau jika hal itu dilakukan.
- Masyarakat tidak mau divaksin. Dari situasi tersebut diatas, masyarakat dengan pikirannya sendiri bisa sampai ke tingkat vaksin. Masyarakat sekitar menjadi antipati terhadap program pemerintah tersebut.
Setelah melihat mulai adanya indikasi antipati masyarakat terhadap tim gugus, saya terus berpikir mengapa hal ini terjadi. Saya menemukan satu celah mengapa hal ini bisa terjadi dan tidak lain adalah "penyampaian informasi secara tepat dan akurat". Covid-19 ini bukan lagi menjadi hal yang tabu tetapi sudah mulai menjadi hal biasa. Maka ketika informasi kurang jelas maka sikap antipati masyarakat akan memuncak.
Sekian dan terima kasih.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H