Dahulu di Daerah Ono Niha atau Nias, kera atau monyet menjadi salah satu hama tanaman yang selalu meresahkan warga ketika bertani atau membuka ladang. Kera bukan hanya mengambil buah, tetapi juga sekaligus merusak tanaman tersebut. Siapa puh tahu, itu adalah sifat dasar dari kera atau monyet. Dengan demikian, setiap kali orang mau membuka lahan baru, salah satu kegiatan yang tidak terlupakan adalah memburu kera atau monyet yang masih tertinggal di atas pohon.
Memburu kera atau monyet, bukanlah perkara mudah. Kera sangat terkenal dengan kelincahan dalam hal memanjat dan melompat dari pohon ke pohon lain. Walaupun sepintar-pintarnya melompat, kera juga menjadi santapan empuk dari pemburu.
Mula-mula, ketika malam hari tiba, para tertua pemburu mengamati kera yang ada di pohon dan melakukan ritual menenangkan kera. Ritual ini dalam budaya Ono Niha disebut "famahono ba'e" (penenangan kera) atau dalam kata kerjanya disebut "lafasu" (semacam dihipnotis). Ritual ini dibuat agar kera yang akan ditangkap itu tidak seperti biasanya.
Pada pagi hari, para pemburu kemudian membuat u'o (jaring yang terbuat dari kulit pohon yang telah dianyam membentuk jaring yang kuat) mengelilingi pohon dimana tempat dimana kera itu berada. Langkah selanjutnya adalah menebang pohon dimana kera berada. Saat pohon jatuh, kera kemudian lari dan terjerat di jaring yang telah dipersiapkan. Orang yang berada dibagian tersebut juga sesegera mungkin menarik jaring tersebut menutupi kera yang terperangkap.
Dibalik cerita perburuan kera ini, ada satu cerita yang dikemudian hari menjadi teguran. Ceritanya adalah kata "hoa" (bunglon) dan "noa" (sudah). Teguran ini dikemukakan agar orang lebih dahulu mengerti baru mengatakannya lagi.
Dikisahkan bahwa di suatu hari ada sekelompok orang yang berburu kera. Setelah mempersiapkan segala sesuatu, mereka berada di posisi masing-masing. Sementara pohon mulai tumbang, seorang diantara mereka melihat bunglon terbang dan memberitahukannya kepada temannya yang ada disebelahnya. "Ija hoa! " (itu bunglon!) Orang yang disebelahnya sontak berteriak: "ija noa" (Itu Sudah). Semua bergembira dan semua menarik jaring. Setelah jaring tumbang, rombongan kera dengan leluasa lari, dan satu pun tidak sempat tertangkap.
Cerita yang sangat pendek ini justru memberi pelajaran yang sangat menarik. Orang yang pertama berteriak merupakan simbol orang yang tidak fokus terhadap pekerjaannya. Hal ini pun membuat kegiatan perburuan menjadi kacau. Dalam hal ini Ono Niha sering mengatakan: "Na malu Dahonago, sambua ihalo ba isaitago; Na malu dafofogo, sambua ihalo ba ifofogo" (Kalau Dahonago berburu dapat satu langsung digantung; Kalau Dafofogo berburu, dapat satu langsung diatur).
Nasehat kedua dari cerita ini adalah: orang kedua yang mendengar informasi, tidak mencerna dengan baik informasi yang ada melainkan langsung membagikannya. Ija hoa! (itu bunglon!), namun ia menangkap dan membagikan informasi "ija noa" (Itu Sudah). Di sini kesalahan informasi membuat tujuan menjadi kabur. Dalam hal seperti ini Ono Niha sering mengatakan: "Ofona'o ua ndrongosi, awena olowosi" (Duluan dulu cermati, barulah dibungkus).
Semoga bermanfaat.
Ya'ahowu!
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H