Beberapa hari terakhir ini, beredar di media sosial khususnya Facebook, seorang pria berbadan besar dan berkepala plontos, ikut dalam proses penggalian kuburan dan ikut mengangkat peti Jenazah. Setelah diamati dengan seksama, beliau sebenarnya bukanlah orang biasa saja. Beliau adalah orang pertama di Kabupaten Nias Utara. Ia adalah Bapak Amizaro Waruwu, Bupati Nias Utara.
Melihat potingan tersebut, sontak menarik perhatian, kok bisa begitu ya? Seorang Bupati yang mestinya dihargai, dikawal, dan diposisikan tempat duduknya di tempat terhormat, malah malah berada di barisan para pekerja. Dalam postingan tersebut, turut diberi keterangan: "Acara pemakaman [...] adek kandung dari Nyonya Bupati Nias Utara [...]." Dari keterangan postingan tersebut akhirnya dapat diketahui bahwa posisi Bapak Amizaro Waruwu berada di "bosi wa'onoalawesa" (posisi anak perempuan).
Dalam budaya Nono Niha, dikenal dua posisi anak yang sudah menikah dalam keluarga. Pertama, bosi wa'onomatua (posisi anak laki-laki) dan kedua bosi wa'onoalawe (posisi anak perempuan). Kedua bosi atau posisi ini memiliki perbedaan cara kerja dan apa lagi dalam tindakan. Ono Niha yang mengenali posisinya dalam budaya Nono Niha akan dengan cepat mengambil posisinya ketika sesuatu kegiatan pesta atau pun duka dilaksanakan. Bosi wa'onomatua (posisi anak laki-laki) mengambil posisinya di bagian depan atau sebagai penerima tamu dan duduk di sekitaran meja. Akan tetapi, bosi wa'onoalawe (posisi anak perempuan) langsung mengambil posisi di bagian belakan atau di barisan dapur dan sekitarnya.
Kedua bosi atau posisi ini bukanlah dibuat begitu saja. Kedua bosi atau posisi ini merupakan posisi adat yang mau menunjukkan adat istiadat Nono Niha yang mengatakan bahwa ono matua atau laki-laki adalah samatohu boro zisi atau penerus garis keturunan. Karena itulah, ono matua menjadi tuan di tempanya. Sementara ono alawe atau anak perempuan merupakan samatola banua atau penghubung kampung. Ono alawe atau anak perempuan dikatakan penghubung kampung karena posisinya yang akan dinikahi oleh ono matua atau anak laki-laki yang bisa saja berasal dari luar kampunya. Hal inilah sering sekali dikatakan bahwa istri adalah ono nihalo atau anak yang diambil.
Ono alawe atau anak perempuan yang sudah dijadikan istri jika datang berkunjung ke rumah orangtuanya, ia akan menjadi tamu yang dilayani dan ketika pulang akan diberi buah tangan berupa ono mbawi (anak babi), ono manu (ayam), bora (beras) dan lain sebagainya. Sementara jika pihak ono matua atau laki-laki berpesta atau berduka dan pihak ono alawe atau perempuan yang telah menikah datang, ia diharuskan membawa bawi sebua (babi besar). Selain itu, pihak ono alawe atau perempuan menjadi tulang punggung atau pekerja utama dalam menyukseskan kegiatan tersebut.
Posisi Bapak Amizaro Waruwu yang disebut di awal tulisan ini merupakan posisi ono alawe atau anak perempuan. Disebut sebagai ono alawe atau anak perempuan bukan karena perubahan jenis kelamin melainkan karena ia telah menikahi anak perempuan dalam keluarga tersebut. Maka, tidak heran bahwa posisinya sebagai seorang Bupati Nias Utara merupakan posisi jabatan pemerintahan. Namun karena kesadaran budayanya, ia juga turut mengambil bagian dalam pekerjaan sebagai posisi ono alawe atau anak perempuan karena yang ikut bekerja di dapur dan sekitarnya.
Terlepas dari posisinya sebagai ono alawe atau anak perempuan dalam keluarga tersebut, Bapak Amizaro Waruwu juga bisa dinilai sebagai sosok yang sadar akan posisinya dalam budaya. Kesadarannya dalam posisi budaya membawa dirinya dalam semangat pelayanan yang dengan elegan melaksanakan tugas tersebut.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H