Tarian pada umumnya merupakan karya seni dalam bentuk gerak yang berkembang di suatu daerah dan merupakan bagian dari budaya setempat. Tarian yang merupakan bagian dari budaya, tentu memiliki filosofi tersendiri. Tarian yang biasanya dilakukan oleh kau perempuan, sudah barang tentu memiliki filosofi yang bisa memberikan suatu gambaran daerah atau kebiasaan leluhur suatu daerah.
Demikian halnya daerah Nias yang juga memiliki gerak tarian. Salah satu bentuk tari yang terkenal di daerah Nono Niha (Nias) adalah Tari Moyo. Tidak banyak referensi yang bisa didapatkan untuk menjelaskan mengenai arti dan filosofi tari moyo ini. Akan tetapi dalam buku yang disusun oleh Pdt. Dal, Zendrato, S.Th, dkk, hanya memberikan sedikit sekali pandangan tentang tari moyo. Dalam buku tersebut dijelaskan:
Karena awalnya manusia itu terbang dari tuwu zago nomo "SIHAI SI LO FAMAEDO, SIHAI SI LO KHALAKHALA" dan melompat di atas ujung tombak Burusa, maka ada kesan bahwa manusia yang pertama diturunkan di dataran Tano Niha mempunyai sayap. Lebih jelas lagi pada saat SIRAO melompat dari Tuwu Zago menuju ujung tombak Burusa kemudian kembali ke rumah SIHAI, ia terbang di awan putih bagaikan burung Elang. (hlm131-132).
Penjelasan yang hanya satu paragraf ini sungguh memberikan gambaran awal mengenai tari moyo. Tari moyo di sini mula-mula dilihat bagaikan burung elang. Gambaran ini kemudian menurunkan pengertian tari moyo sebagai tarian yang ditirukan dari gaya burung elang. Burung elang sendiri dalam bahasa Nias disebut moyo. Selain dari dokumen tersebut, penulis juga menjadi semakin yakin akan ceritra dari masyarakat Nias khususnya kaum perempuan bahwa tari moyo dipelajari dari gaya seekor burung.
Gerakan tari moyo dalam pelaksanaannya merupakan gerakan tari yang sangat hati-hati. Gerakan utama dari tarian ini adalah gerakan tangan yang biasanya juga disandingkan dengan penggunaan selendang yang menirukan seperti sayap burung elang. Gerakan tangan ini juga bisa dilihat sebagai bentuk dari sebuah gerakan silat. Gerakan tangan ini dapat dilihat ketika sepasang penari, dimana penari yang satu bergaya menyerang maka gerakan yang satu haruslah bersifat menangkis.
Selain gerakan tangan, pandangan mata atau posisi kepala si penari, haruslah senantiasa mengarah ke depan. Hal ini mau menjelaskan bagaimana seekor elang yang sedang fokus dengan mangsa yang hendak diterkamnya. Tidak hanya itu, gerakan kaki juga harus seiring dengan irama musik yakni gendang dan gong. Biasanya tumit penari baru menyentuh tanah ketika bunyi gong terdengar atau dalam bahasa Nias disebut "lahundrago li gondra" (menginjak suara gong). Catatan kecil bahwa dalam tulisan ini tidak bisa dijelaskan semua bentuk gerakannya, namum bisa dilihat dalam bentuk video berikut yang menurut hemat penulis dapat mewakili. Selain musik, gerakan tari moyo juga bisa disandingkan dengan nyanyian. Nyanyian ini pun menjadikan tarian ini semakin semarak. Nyanyian ini dilakukan dalam bahasa Nias dan tentunya semakin menggambarkan suasana yang sedang dirayakan.
Pada akhirnya, dari penjelasan di atas dapat ditarik kesimpulan bahwa tari moyo merupakan salah satu tari yang memiliki ulasan makna yang cukup menarik. Tarian ini pertama-tama dikenang bahwa ini menyimbolkan leluhur Nono Niha yang bisa terbang bagaikan Elang. Tarian ini juga memiliki makna kehati-hatian dalam setiap tindakan apa pun. Pada akhirnya gerakan tari moyo mengulaskan suatu gerakan yang sungguh mempunyai seni yang luar biasa.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H