Mohon tunggu...
Jajang Suryana
Jajang Suryana Mohon Tunggu... -

Saya suka menulis beragam tulisan. Saya gurunya guru. Saya juga suka yang bau-bau komputer. Saya juga penyuka wayang.

Selanjutnya

Tutup

Sosbud

Catatan Tercecer Tentang Golek

21 Mei 2010   21:58 Diperbarui: 26 Juni 2015   16:03 299
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Sosbud. Sumber ilustrasi: KOMPAS.com/Pesona Indonesia

Hasil penelitian tahun 1995 (Jajang, 1995), beberapa orang yang terkait langsung dengan keberadaan golek awal --pegolek dan pedalang-- masih jumeneng (informasi terbaru belum saya ketahui, apakah semua tokoh yang saya sebut masih jumeneng itu demikian adanya kini). Keturunan Ki Darman, penggubah raut golek awal, di antaranya tinggal di daerah Cibiru, Ciguruwik, Ujung Berung, Salacau, dan Padalarang. Semuanya di kawasan Kabupaten Bandung, Jawa Barat. Beberapa di antaranya bisa dijadikan sebagai nara sumber, saksi hidup bagaimana kehadiran golek di tatar Pasundan.

Para pegolek generasi keempat dari Ki Darman, hingga kini masih aktif membuat boneka golek. Bahkan, mereka mengembangkan bentuk-bentuk tambahan boneka golek. Mereka aktif merespon tuntutan lingkungan: berdialog dengan para penentu kebijakan seni, pemerhati seni, maupun pengguna karya seni. Begitu pun beberapa dalang kondang (“lima dan empat zaman”) ada yang masih bisa diajak berdialog membicarakan sisi kesejarahan golek dan pertunjukannya. Kelompok Giriharja dari Jelekong, Kabupaten Bandung, dikenal sebagai kelompok dalang yang berhasil membangkitkan kembali minat masyarakat dalam menonton pertunjukan wayang golek, terutama kalangan penonton muda. Mereka mempertunjukkan wayang golek sejalan dengan tuntutan zaman. Keberhasilan mereka juga memacu semangat para dalang wayang golek yang lain. Bahkan, gaya pertunjukannya diserap oleh para dalang wayang kulit yang dikenal sebagai dalang taat pakem.

Sejumlah dalang mengatakan, mereka senang didatangi untuk membicakan masalah pewayangan. Mereka bisa berbicara panjang tentang pengalaman menjadi dalang, maupun bercerita tentang sejumlah pemerhati wayang dan pedalangan yang pernah mendatangi mereka. Mereka, sebagian, hidup berkecukupan. Tampak dari kondisi tempat tinggal mereka yang lumayan refresentatif sebagai rumah tinggal.

Nasib para pegolek berbeda jauh dengan nasib para dalang. Para dalang yang kemudian dikenal oleh masyarakat, bisa meningkatkan tarafhidup mereka secara normal, bahkan di atas masyarakat kebanyakan. Sebaliknya, para juru golek banyak yang kemudian berhenti berkarya karena alasan kekurangan biaya. Pegolek yang memiliki kemahiran dalam menghasilkan boneka golek yang bermutu, tetapi (terutama) kekurangan modal kerja, baru bisa berkarya ketika menerima uang persekot pesanan dari para dalang kondang. Beberapa pegolek yang merangkap kerja, misalnya ada pegolek yang juga guru, atau pegolek juga dalang, kehidupannya tampak lebih berkecukupan. Tampaknya, profesi pegolek tidak lebih menguntungkan daripada profesi pedalang.

Masih ada sejumlah boneka golek peninggalan masa lalu yang mejadi catatan kesejarahan bidang wayang golek, disimpan oleh orang-orang tertentu. M. Duyeh, pegolek aktif asal Cibiru misalnya, banyak memiliki boneka golek tua yang sarat dengan catatan penting tentang kesejarahan golek. Misalnya, seperangkat boneka golek lama yang pernah dipergunakan seorang dalang kondang pada masanya, yang kerap digunakan dalam mempertunjukkan cerita wayang di istana negara pada masa Soekarno, dihibahkan oleh pemiliknya kepada M. Duyeh. Duyeh sendiri tidak mengerti, apa yang menjadi dasar pertimbangan pemilik golek menghibahkan sekotak boneka golek itu kepadanya. Yang pasti, boneka-boneka golek karya M. Duyeh banyak dipakai para dalang tenar. Dia memiliki wawasan yang cukup luas tentang sejarah wayang maupun tata-bangun pembuatan boneka golek. Di samping itu, dia bisa dikatakan sebagai pegolek yang kreatif, banyak gagasan, serta banyak berhubungan dengan para pemikir dan pemerhati golek. Barangkali, orang percaya kepadanya, sehingga dia mendapatkan hibah boneka-boneka golek kuno. Tetapi sayang, karena seperti pegolek kebanyakan yang kondisi ekonomisnya kurang mencukupi, Duyeh terpaksa melepas satu demi satu golek kuno koleksinya, untuk “ditukar dengan beras”. Di samping hal itu, banyak orang yang suka mengoleksi barang kuno yang terus-menerus membujuk Duyeh untuk menjualnya, satu demi satu.

Keberadaan boneka-boneka golek kuno seperti disebutkan tadi , bisa dipandang sebagai sesuatu yang memprihatinkan. “Pemuliaan” benda kuno selalu terbentur dengan masalah kurangnya biaya. Pemerintah daerah maupun pusat belum meperhatikan secara sungguh-sungguh tentang pencatatan semua hasil olah pikir dan rasa masyarakat kita yang penting.

Pengelola Museum Sri Baduga, Jawa Barat, maupun pengelola Museum Wayang Jakarta misalnya, tampaknya belum mampu mendokumentasikan keberadaan wayang secara lengkap, lebih khusus tentang golek. Kedua museum itu baru menyimpan boneka golek sebatas sebagai terok (sampel) catatan semata. Sayangnya, benda-benda visual yang ma-sih tersimpan tersebut dibiarkan “bisu” tanpa informasi tertulis yang mendampinginya. Di Museum Sri Baduga, misalnya, hanya tersimpan (aman dalam kotak kaca) beberapa tokoh boneka golek lama cerita Mahabharata. Ada juga beberapa model golek menak (golek lama dengan cerita panji, Raja Menak, Amir Ambiya), wayang kulit, dan wayang beber.

Pengamanan karya, mungkin cukup baik, dengan adanya kamera pemantau untuk meneliti perilaku pengunjung. Tetapi, kepuasan pengunjung yang ingin mendapatkan infor-masi yang lebih lengkap tentang golek, belum bisa terpenuhi. Buku koleksi perpustkaan museum yang ditempatkan di sebuah ruangan nyingkur, tersembunyi di bagian belakang gedung,juga belum bisa memuaskan pengunjung. Atau mungkin, selama ini pengunjung tidak pernah butuh informasi tersebut?

Sama halnya dengan yang ada di Museum Wayang Jakarta. Keberadaan golek yang mengisi museum ini baru sebagai pelengkap koleksi museum. Pengelola museum baru menyediakan catatan pendek yang ditempel menyertai benda pajangan. Sumber informasi yang agak panjang baru ada berupa leaflet. Pengunjung belum bisa mendapat bahan tertulis secara lengkap. Informasi visual yang ada belum sejalan dengan kebutuhan pengun-jung. Pada kenyataannya, masih diperlukan begitu banyak bahan tertulis yang bisa dikaji ulang lama setelah mengunjungi museum.

Yayasan Sena Wangi, pengelola Museum Wayang Jakarta, pernah menerbitkan sebuah majalah yang isinya melulu membicarakan masalah perwayangan (1979 - 1989-an) . Majalah yang diberi nama Gatra itu (bukan majalah berita Gatra) kini tak bisa terbit lagi.Majalah langka tersebut seperti yang ditulis dalam pengantar redaksi, dimaksudkan se-bagai jembatan penghubung antara pelaku langsung kegiatan wayang dengan pemerhati dan penikmat wayang. Tampaknya, ditunggu segera pemilik modal yang sadar-wayang untuk menunjang dana penerbitan kembali majalah tersebut. Sehingga, dunia teori perwa-yangan bisa dibicarakan dalam lingkup yang lebih luas.

Pembuat boneka golek, pegolek, tampaknya perlu mendapatkan kesempatan luas untuk memamerkan karyanya dalam tajuk pameran "patung" atau "boneka". Selama ini, golek, juga jenis-jenis wayang lainnya, belum ternikmati sebagai karya yang utuh. Penikmat wayang, pada kenyataannya, adalah penikmat pertunjukan wayang, penikmat cerita wa-yang yang dipertunjukkan. Selama ini, wayang baru dikaji dari sisi seni pertunjukkannya.

Wayang sebagai bentuk hasil olah rupa senimannya, jauh dari bahasan mendalam para pemerhati wayang. Oleh karena itu, tidak ada pegolek atau juru wayang yang terkenal se-perti pedalang. Itu adalah sebuah kenyataan pahit sisi kesenian yang timpang. Jika diper-samakan dengan seni pertunjukan yang lain, misalnya film, teater, dan musik, kondisinya hampir sama. Yang terkenal, yang mendapat penghargaan publik, hanya sebagian penam-pil jenis kesenian tersebut. Padahal, masing-masing unsur memiliki kemungkinan ditampilkan sebagai satu sisi yang utuh. Dan, bisa dihargai sebagai bagian seni yang utuh juga.

Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun