[caption id="attachment_327424" align="aligncenter" width="300" caption="Ichsan"][/caption]
Oleh Ichsan *)
Keputusan DPR menetapkan Pemilihan kepala daerah yang dikembalikan ke DPRD membuahkan kecaman dan pujian. Sepertinya hal ini menjadi profesi tambahan sementara bagi sebagian masyarakat Indonesia pasca melihat, hasil voting rapat Sidang Paripurna DPR RI dalam pembahasan RUU Pilkada. Jalannya sidang yang sangat alot membuah hasil yang membuat Dunia bahkan terkejut, (demikian media asing menyampaikannya). Keputusan yang diambil DPR dalam memutuskan bahwa pemilihan Kepala Daerah (Gubernur, Bupati/Walikota di pilih kembali oleh DPR, dianggap sebagai kemunduran oleh berbagai pihak dengan mengatasnamakan dirinya Suara rakyat. Namu tidak sedikit juga yang memuji bahwa Indonesia dan menganggap bahwa saat ini adalah tepat untuk kembali ke Ibu Pertiwi dengan sebenarnya yakni mengembalikan pemilihan kepala daerah ke DPRD seperti yang termaktup dalam penjelasan Pancasila pada sila ke empat.
Latar belakang Pendidikan masyarakat yang berbeda beda tentu membauhkan persepektif berbeda beda dalam menilai putusan yang diambil oleh Anggota DPR beberapa waktu. Salah satu kecaman yang pedas yakni dengan menganggap bahwa Rezim Orde Baru muncul kembali. Sungguh ironis, jika Kaum Intelektual Indonesia dipaksa mengkritik tanpa saling percaya. Hal ini akan membawa Indonesia pada kehancuran kepercayaan antara Rakyat dan Pemerintah. Banyaknya demo dan aksi damai lainnya yang dirasa ditumpangi oleh oknum parpol dan pihak-pihak berkepentingan tentu juga menjadi dalang atas lanjutnya sebuah drama politik yang merusak ini. Jika konflik horizontal ini berlanjut maka bukan tidak mungkin akan memperlambat pembangunan Negara ini dari semua sisi. Mengapa tidak? Pemerintah hanya akan disibukkan dengan menjaga image, eksistensi dan “lapak harta” dalam mempertahankan kekuasaan.
Issue yang menyatakan bahwa Demokrasi 10 tahun terakhir merupakan produk import ternyata juga ditanggapi serius oleh beberapa kalangan. Ada yang membenarkan dan ada juga yang menyatakan bahwa ini kemunduran jika zaman orde baru dikembalikan lagi. Sebenarnya, jika kita wacana kembali pada azas Pancasila dan UUD 1945 dengan menerangkan kembali makna kesilaan didukung oleh peran media yang mampu menginformasikan kesemua pelosok, bukan tidak mungkin bahwa persepektif becah-belah yang terjadi bisa dikendalikan dan masa keemasan Indonesia dimana Indonesia pernah dihargai dan disegani akan kembali menjadikan masyarakat Indonesia bangga pada bangsanya, serta serentak bersama mempertahankannya. Disadari atau tidak, bahwa pancasilalah yang menyatukan perbedaan ras dan golongan diInnonesia. Jika Korupsi yang didengungkan kembali merajalela, sungguh hal tersebut hanya pengalihan isuue tanpa melakukan metode perbandingan dengan masa kekinian yang juga tidak luput dari korupsi karena sesungguhnya korupsi bukan berpengaruh pada system namun pada mentalitas bansa yang didasari pada pendidikan dasar bangsa.
Saat ini, mungkin tidak semua kalangan peduli atas tindak politik pemerintah karena tidak semua merasa memiliki. Hal tersebut terlihat jelas pada setiap gerakan yang selalu ditumpangi oknum sebagai donaturnya dan juga Nasionalisme yang benar-benar telah memudar. Hal ini sebenarnya adalah kemunduran, bukan kemajuan. Sebuah sisitem yang 10 tahun terakhir yang dianggap berjalan menuju sebuah kemajuan ternyata menghilangkan hakikat Nasionalisme bangsa. Secara sederhana, tidak semua kalangan anak muda saat ini mampu menghafal Pancasila apalagi menjelaskannya. Benar bahwa ini bukan ukuran dalam menilai ke-Nasionalisme-an seseorang dalam bernegara, namun tentu ini merupakan hal terkecil yakni pancasila sebagai azas bangsa yang harus diketahui oleh setiap warga Negara Indonesia. Sama halnya ketika seseorang beragama, tentu rukun atau syaratnya seseorang beriman pada agama tertentu menjadi perihal pokok yang harus diketahui oleh setiap insane yang beragama. Alangkah lucunya mentalitas bangsa jika masih ada yang mengangap bahwa menghafal Pancasila dan melaksanakannya dianggap kuno dan ketinggalan zaman, mau dibawa kemana Negara ini?
Inilah relitas bangsa hari ini. Mundur untuk lebih baik atau maju untuk terus merusak bangsa ini yang issuekan membangun untuk rakyat. Kemunduran kita hanyalah persepektif beberapa orang yang sebenarnya tidak demikian. Tidak semua yang terjadi dimasa orde baru yang cenderung bertangan besi dan merupakan system yang tidak baik. Pasti ada nilai positifnya. Lahirnya reformasi tentu bukan hanya didasari oleh persoalany kini sedang terjadi melainkan terkekangnya hak berpolitik daerah ke pusat serta korupsi. Sesungguhnya korupsi juga terjadi dimasa kini lebih terang terangan serta kebobrokan atas kebebasan berpolitik yang ternyata merusak nasionalisme bangsa dalam sisi toleransi.
Kini demikrasi yang masih diberikan dengan sekatan (demokrasi pancasila) memperlihatkan, tentang bagaiamana Legeslatif merapikan barisan untuk terus memajukan sebuah bangsa dengan kesantunan Pancasila yang bersahaja. Kesantunan yang baik dan premanisme yang dapat di hapus dimasa lalu menjadikan masa lalu tersebut layak untuk ditiru. Nasionalieme serta pendidikan ke-Pancasila-an harus kembali tumbuh subur mulai dari tingkat sekolah dasar hingga menengah dengan menjadikan pendidikan moral dan tenggang rasa sebagai bagaian terkecil dari identitas bangsa.
Bercermin pada masa kini, setiap perbedaan selalu ditindak dengan kekerasan oleh oknum masyarakat ataupun oknum pemerintah yang keseluruhannya tidak mendidik seperti batasan dalam beragama serta toleransi atntar etnik. Nasionalime juga bukan berrarti menutup hak Asing di Indonesia. Nasionalisme adalah benteng untuk menjaga nilai kebangsaan dengan tetap membuka ruang pasrtisipasi asing sebesar besarnya tanpa mengambil posisi sebagai kontra dalam bersatu. Selama kepentingan asing tidak berlawanan dengan Asing, tentunya kebebasan diberikan sebagai bagian dari toleranransi antar bangsa.
Jika nilai kepancasilaan di hidupkan kembali, tentu Indonesia yang dikenal sejak kemerdekaan akan lebih Berjaya dengan nilai dan identitas dasarnya. Bukan hal mudah mengembalikan Garuda dalam “sangkarnya”. “Produk asing” yang dianggap lama bertahan di system pemerintahan Indonesia dan membuat bangsa Indonesia tidur pulas, pasti akan merasa tergangu dengan perubahan yang terjadi. Kesadaran yang harus ditumbuhkan adalah merasa menjadi bagian dari Indonesia yang merupakan Negara yang sangat toleransi dan pancasilais dengan tenggangrasa yang amat besarserta UUD 1945 dan pancasila sebagai dasar. Tak ada yang menyangka bahwa perbedaa ras, etnik, agama dan lainnya dimasa lalu bisa dipersatukan oleh Presiden Pertama Indonesia. Kini Tugas Presiden baru adalah mempertahankannya dan mengembalikan Negera ke Pancasila sebagai dasar dengan mendukung keputusan DPR. Tentunya ini bukan pekerjaan mudah dalam pemerintahan saat ini dengan putusan DPR yang dirasa tepat meskipun menuai pro dan kontra haruslah dihargai dan dicerdasi demi Indonesia yang makmur dan adil. Jika Garuda kembali kesangkarnya, pasti Indonesia akan kembali besar dengan mengambil bagian dari tida Negara besar di Asia.
*) Wakil Sekretaris Jendral bid Otonomi Daerah dan Ketahanan Nasional PBHMI 2013-2015