”11 Pendonor Darah di Jember Terjangkit HIV/AIDS.” Ini judul berita ANTARA (29/8-2010). Judul berita ini tidak akurat karena skrining yang dilakukan oleh PMI hanya untuk mendeteksi darah donor. Hasil reaktif (positif) pada darah donor di PMI tidak otomatis menunjukkan pemilik darah sudah tertular HIV
Pertama, skrining darah donor dilakukan dengan rapid test atau ELISA bisa menghasilkan reaktif (positif) palsu (di dalam darah tidak ada HIV tapi terdeteksi) dan nonreaktif (negatif) palsu (di dalam darah ada HIV tapi tidak terdeteksi). Itulah sebabnya hasil tes HIV dengan ELISA harus dikonfirmasi dengan tes lain.
Darah donor yang terdeteksi reaktif itu ditemukan para Januari - Juli 2010. Ini menunjukkan sudah ada donor (baca: penduduk) di masyarakat di wilayah Kab. Jember yang terular HIV. Mereka itu tidak terdeteksi karena orang-orang yang sudah tertular HIV tidak bisa dilihat dengan mata telanjang. Ini karena tidak ada gejala-gejala yang khas AIDS pada fisik mereka. Mereka itulah yang menjadi mata rantai penyebaran HIV secara horizontal di masyarakat tanpa mereka sadari.
Disebutkan: ”Kepala Unit Transfusi Darah (UTD) PMI Kabupaten Jember, dr Umi Jauhari, Minggu, mengatakan bahwa jumlah pendonor yang "ditolak" PMI Jember karena memiliki sejumlah penyakit sebanyak 270 orang dengan 11 di antaranya terjangkit HIV/AIDS.” Ini bertentangan dengan asas kemanusiaan (setiap orang suka rela mendonorkan darah, jika ada penyakit tidak diapakai untuk transfusi darah) dan unliked anonyimous (contoh darah donor tidak diberi tanda atau kode yang bisa merujuk ke identitas pendonor) yang diterapkan pemerintah terhadap donor. Soalnya, yang diskrining bukan donor tapi darah yang didonorkan (darah donor). Kalau ada darah donor yang terdeteksi mengandung penyakit, termasuk HIV, maka darah itu tidak dipakai. Hal itu tidak diberitahu kepada donor sehingga mereka tetap mendonorkan darahnya sebagai asas kemanusiaan.
Ada data yang diberikan yaitu ”Sebanyak 270 pendonor yang terjangkit penyakit antara lain 202 pendonor terjangkit hepatitis B, sebanyak 10 pendonor terjangkit sifilis, 47 pendonor terjangkit hepatitis C, dan sebanyak 11 pendonor terjangkit 11 HIV/AIDS.” Ini semua merupakan penyakit yang ditularkan melalui hubungan seks, dikenal sebagai infeksi menular seksual (IMS).
Uji saring (skrining) darah donor dalam upaya penanggulangan AIDS dilakukan PMI sejak 1992 berdasarkan Kepmenkes No 622/VII/1992. Tes sifilis mulai dilakukan pada 1974, hepatitis B sejak 1985. Tapi, biar pun ada skrining darah donor tetap saja berisiko karena jika seorang pendonor yang sudah tertular HIV menyumbangkan darah pada masa jendela (tertular di bawah tiga bulan) maka hasil skrining bisa positif palsu (di darah tidak ada HIV tapi terdeteksi) atau negatif palsu (di darah ada HIV tapi tidak terdeteksi). Kita bisa menoleh ke Malaysia yang mengantisipasi kemungkinan penularan melalui transfusi darah. Malaysia menetapkan pelayanan transfusi darah di negeri jiran itu tunduk pada ISO (International Organization for Standardization) melalui standar ISO/ICE 17025:1999 (generalrequirements for the competence of testing and calibration laboratories).
Fakta berupa temuan darah donor yang terkontaminasi HIV membuktikan sudah ada penduduk Kab. Jember yang melakukan perilaku berisiko tinggi tertular IMS dan HIV, yaitu: melakukan hubungan seksual tanpa kondom di dalam dan di luar nikah dengan pasangan yang berganti-ganti atau dengan yang sering berganti-ganti pasangan, seperti pekerja seks komersial/PSK langsung (di lokalisasi) dan tidak langsung (di losmen, hotel, dll.), dan pelaku kawin-cerai.
Jumlah penduduk dan frekuensi mereka melakukan perilaku berisiko, di wilayah atau di luarKab. Jember, menjadi faktor yang mempengarhui jumlah penduduk yang tertular HIV. Persoalannya adalah orang-orang yang sudah tertular HIV tidak bisa dikenali dari fisiknya karena tidak ada tanda-tanda yang khas AIDS. Begitu pula dengan orang-orang yang sudah tertular HIV mereka tidak menyadari dirinya sudah mengidap HIV karena tidak ada keluhan penyakit yang khas AIDS. Lebih celaka lagi tidak ada mekanisme yang bisa mendeteksi penduduk yang sudah tertular HIV. Yang dilakukan selama ini adalah menunggu orang-orang yang sudah tertular HIV berobat ke rumah sakit ketika sudah mencapai masa AIDS (sudah tertular antara 5-15 tahun) karena sudah ada penyakit yang menyertai masa AIDS, disebut infeksi oportunistik.
Disebutkan: ”PMI Jember, kata dia, memperketat proses "screening" para pendonor untuk mendeteksi lebih akurat sejumlah penyakit yang diderita oleh pendonor, sebelum mereka mendonorkan darahnya.” Sayang, dalam berita tidak ada penjelasan seperti apa skrining yang ketat. PMI justru menguatkan mitos dengan pertanyaan kepada calon donor yang tidak ada kaitannya dengan HIV, yaitu: Kapan Anda terakhir ke luar negeri? Lho, yang naik haji juga ke luar negeri, apa iya mereka melakukan perilaku berisiko selama beribadah di Arab Saudi?
Ada lagi pernyataan yang melanggar asas unlinked anonymous: ”Ia mengemukakan PMI Jember akan memanggil pendonor yang terjangkit HIV/AIDS dan sifilis, kemudian menyarankan untuk berobat.” Ini merupakan perbuatan yang melawan hukum dan pelanggaran berat terhadap HAM. Donor tidak pernah menerima konseling sebelum darahnya diambil sehingga tidak ada hak PMI untuk membeberkan hasil skrining. Skrining hanya untuk memastikan darah yang akan ditransfusikan bebas dari penyakit! Kalau darah seseorang akan dites HIV maka harus ada informed consent dari ybs. serta bersifat konfidensialitas (kerahasiaan), PMI juga harus memberikan konseling sebelum dan sesudah mendonorkan darah. Orang yang terdeteksi HIV-positif tidak otomatis harus berobat.
Dikatakan lagi: "Kami akan menyarankan pendonor untuk periksa ke klinik `Voluntary Counselling dan Testing` (VCT) RSD dr Soebandi Jember, apabila menemukan pendonor darah yang terjangkit HIV/AIDS." Ini juga melanggar asas unlinked anonymous karena tidak sebelum mendoronorkan darah tidak diberitahu bahwa darah mereka akan dites HIV. Selain itu mereka pun tidak menerima konseling sebelum tes. Dikhawatirkan penduduk akan enggan menjadi donor darah karena takut terdeteksi HIV. ***