Di masa Orba kegiatan pelacuran dilokalisir sebagai bentuk regulasi dari upaya proses resosialisasi pekerja seks komersial (PSK) melalui berbagai kegiatan, seperti jahit-menjahit, tata rias, dll.
Program resosialisasi tidak berhasil karena program yang diberikan kepada PSK merupakan program top-down yang belum tentu menjadi minat PSK (Lihat: http://edukasi.kompasiana.com/2010/12/09/apriori-terhadap-pelacuran/).
Dari aspek kesehatan masyarakat melokalisir kegiatan pelacuran lebih baik daripada membiarkan pelacuran merajela di sembarang tempat kerena tidak bisa dijangkau. Dengan menangani PSK secara rutin penyebaran IMS (infeksi menular seksual, seperti sifilis, GO, virus hepatitis B, dll.) dapat diatasi agar tidak menyebar ke masyarakat melalui laki-laki ’hidung belang’.
Langkah yang dilakukan Prof Dr dr DN Wirawan, Ketua Yayasan Kerti Praja, Denpasar, Bali, untuk memutus mata rantai penyebaran IMS adalah dengan cara mengecek kesehatan PSK dan memberikan informasi tentang IMS dan HIV/AIDS kepada PSK serta membelaki mereka dengan kondom. Setiap Jumat klinik Kerti Praja melayani PSK. Ada juga yang dijemput ke lokasi pelacuran.
Biar pun Prof Wirawan bertujuan untuk memutus mata rantai penyebaran IMS, tapi ada saja yang melihatnya sebagai ’melindungi pelacur’. Ini disampaikan oleh seorang wartawan: ”Mengapa Bapak melindungi pelacur?” Untunglah penjelasan Prof Wirawan bisa diterima wartawan itu (Lihat: http://edukasi.kompasiana.com/2010/12/19/%E2%80%98menjemput%E2%80%99-psk-di-denpasar-bali/).
Melokalisir pelacuran merupakan salah satu langkah untuk memutus mata rantai penyebaran IMS. Di Kabupaten Ketapang, Kalbar, biar pun penyebaran IMS sudah menggejala, tapi tidak mungkin melokalisir pelacuran (Sulit Lakukan Lokalisasi PSK, www.pontianakpost.com, 18/5-2012).
Seperti dikatakan oleh Kabid Pemberantasan Penyakit dan Penyehatan Lingkungan (P2PL) Dinas Kesehatan Ketapang, Kalbar, Rustami: .“Tentu masyarakat ada yang tidak setuju, karena dianggap melegalkan pelacuran....” Padahal, melokalisir pelacuran memudahkan pengontrolan karena berada dalam satu lokasi.
Penyebaran IMS melalui suami ke istri sudah jamak terjadi. Jika seorang istri tertular IMS, maka bayi yang dilahirkan kelak bisa cacat atau buta.
Biar pun sosialisasi kondom sebagai alat untuk mencegah penularan IMS, tapi laki-laki ’hidung belang’ tetap saja tidak mau memakai kondom ketika melakukan hubungan seksual dengan PSK.
Nah, dalam kaitan itulah diperlukan lokalisasi pelacuran agar penggunaan kondom pada laki-laki ’hidung belang’ bisa diawasi dan kesehatan PSK pun bisa diperiksa secara rutin.
Disebutkan: “Kebanyakan yang menjadi PSK itu kan orang luar Ketapang. Kita minta agar pihak terkait untuk melakukan pembinaan dan penyuluhan.” Dalam dunia pelacuran terjadi mobilitas yang tinggi. PSK dari satu daerah akan ’beroperasi’ di daerah lain.
Tokoh masyarakat di Ketapang dikabarkan menolak wacana lokalisasi pelacuran karena dinilai dapat merusak moral masyarakat.
Pertanyaannya: Apakah praktek pelacuran yang terjadi sekarang di Ketapang yang tidak mempunyai lokalisasi tidak merusak moral masyarakat?
Dikabarkam pula ada dorongan agar Pemkab membuat peratuaran daerah (perda) anti maksiat. Di daerah-daerah yang ada perda anti maksiat dan anti pelacuran praktek pelacuran tetap terjadi di sembarang tempat dan sembarang waktu.
Yang diharapkan adalah pemuka agama dan tokoh masyarakat membalik paradigma dalam memandang pelacuran: tidak lagi menghujat PSK, tapi mengajak laki-laki dewasa agar tidak melacur!
Soalnya, biar pun di Ketapang tidak ada (lokaliasi) pelacuran bisa saja ada laki-laki penduduk Ketapang yang melacur di luar daerah atau di luar negeri. ***[Syaiful W. Harahap]***
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H