* Tes keperawanan calon Polwan, Polri memakai moralitas laki-laki yang bias jender dan diskriminatif ....
* Lakukan tes IMS dan HIV/AIDS terhadap laki-laki calon polisi ....
Di negeri yang menjunjung tinggi hukum ini ternyata terjadi juga cara-cara yang bias jender yang melawan hukum serta melakukan pebuatan yang melindas hak asasi manusia (HAM).
Lihat saja Polri yang melakukan tes keperawanan terhadap calon polisi wanita (Polwan)sebagai syarat diterima sebagai polisi. Tapi, di pihak lain Polri membiarkan calon polisi laki-laki yang tidak perjaka lolos sebagai polisi.
Tes keperawanan merupakan penghinaan terhadap martabat perempuan. Tapi, di di mata Anggota DPR Fraksi Keadilan Sejahtera (PKS), Al Muzammil Yusuf, tes keperawanan calon polisi wanita tetap diperlukan sebagai standar moral aparat penegak hukum yang harus tinggi (tempo.co, 20/11-2014).
Itu artinya Yusuf melakukan diskriminasi, karena: (a) Apakah masalah moral hanya urusan perempuan [Lihat: (Hanya) ’ABG’ Putri (yang Dituntut) sebagai ’Penjaga Gawang’ Moral], dan (b) Apakah calon polisi laki-laki yang tidak perjaka termasuk orang bermoral?
Yusuf membenarkan perilaku calon polisi laki-laki yang tidak perjaka yang bisa saja terjadi karena berzina dalam bentuk hubungan seksual dengan pacar atau dengan pekerja seks komerisal (PSK). Bisa saja ada di antara calon polisi laki-laki dengan orientasi homoseksual yaitu gay sehingga mereka memang tidak pernah melakukan seks vaginal karena gay melakukan hubungan seksual secara anal.
Untuk itu Polri harus melakukan tes IMS (infeksi menular seksual, seperti kencing nanah/GO, raja singa/sifilis, virus hepatitis B, klamidia, jengger ayam, dll.) dan HIV/AIDS terhadap calon polisi laki-laki dan calon Polwan yang tidak perawan lagi.
Di Polda Papua, misalnya, terdeteksi 18 orang calon siswa (Casis) Sekolah Bintara (Seba) Polri terdeteksi mengidap HIV/AIDS (www.suara.com, 23/5-2014). Apakah polda lain melakukan hal yang sama?
Terkait dengan tes keperawanan terhadap calon Polwan, itu terjadi karena Polri memakai moralitas laki-laki sehingga terjadi bias jender dan perlakuan yang diskriminatif yang berujung pada pelanggaran HAM terhadap kaum perempuan (Lihat: Keperawanan Vs Keperjakaan: Diskriminasi terhadap Perempuan).
Tes keperawanan menohok kaum perempuan di Indonesia. Mulai dari pelajar, calon mahasiswi bidang pendidikan tertentu, sampai kepada Polwan.
Celakanya, laki-laki selalu tidak pernah diminta membuktikan apakah dirinya masih perjaka atau tidak.
Anjuran tes keperawanan terhadap siswi, misalnya, harus dilakukan secara adil agar tidak melanggar HAM yaitu melakukan tes keperjakaan terhadap siswa dan tes moral terhadap guru-guru apakah mereka pernah melakukan hubungan seksual di luar nikah (Lihat: Siswi Tes Keperawanan, Siswa Tes Keperjakaan dan Guru Tes Kebohongan Moral].
Kalau saja Polri tidak memakai moralitas laki-laki, tapi memakai perspektif tentulah Polri juga akan melakukan tes keperjakaan secara objektif.
Soalnya, tes keperjakaan di Polri dilakukan dengan cara-cara yang tidak akurat yaitu hanya dengan menggetok dengkul. Ini dibenarkan oleh Kepala Divisi Hukum Markas Besar Kepolisian, Brigadir Jenderal Moechgiyarto. Dikatakan bahwa calon polisi laki-laki tak diuji lagi kualitas keperjakaannya. "Mau mengecek laki-laki dari mana? Enggak ada caranya selain diketuk lututnya. Kalau perempuan, kan, gampang diuji keperawanannya," kata Moechgiyarto (tempo.co, 19/11-2014).
Apakah cara itu bisa diukur secara ilmiah sebagai pembuktian keperjakaan?
Apakah cara itu bisa menentukan keperjakaan seorang laki-laki secara faktual?
Lalu, apakah calon Polwan yang tidak perawan otomatis tidak (akan) bermoral selama menjadi polisi?
Patut juga disimak latar belakang penyebab seorang calon Polwan tidak perawan karena bisa saja karna diperkosa, dipaksa, dll.
Sebaliknya, apakah calon polisi laki-laki yang “lolos tes dengkul” otomatis akan bermoral selama karirnya di kepolisian?
Karena “tes dengkul” tidak bisa menjamin keperjakaan, maka kalau calon Polwan tetap menjalani pemeriksaan kesehatan, termasuk keperawanan, maka calon polisi laki-laki juga harus menjalani tes keperjakaan. Misalnya, dengan pernyataan di bawah sumpah dan diuji dengan alat tes kebohongan.
Hanya dengan perlakuan yang adil hak-hak perempuan bisa dihargai, sayangnya Polri berada di pihak yang melakukan ketidakadilan terhadap perempuan melalui tes keperawanan terhadap calon Polwan. *** [Syaiful W. Harahap] ***
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H