Ilustrasi hiburan malam di Denpasar, Bali (Repro: nasional.republika.co.id)
“Big jump in anonymous HIV tests in Singapore.” Ini judul berita di Harian The Nation, Bangkok, Thailand, edisi 16 April 2001. Kalau hanya membaca judul ini tentulah tidak ada kaitanya dengan Indonesia karena berita itu berisi kabar tentang lonjakan permintaan tes HIV sukarela di Singapura. (Batam bisa Jadi ”Pintu Masuk” Epidemi HIV/AIDS Nasional, Syaiful W. Harahap,Harian ”Sinar Harapan”, Jakarta, 3 Agustus 2001).
Namun, perlu diketahui bahwa yang menjalani tes HIV sukarela di Singapura itu adalah laki-laki dewasa, tertuama yang beristri, yang pernah melakukan hubungan seksual dengan cewek penghibur dikenal dengan sebutan PSK tidak langsung (seperti cewek diskotek, karaoke, panti pijat, dll.) atau dengan pekerja seks komersial (PSK) langsung (ada di lokasi pelacuran) di Batam dan tempat-tempat wisata lain di Provinsi Riau dan Provinsi Kepri.
Pemerintah Singapura memang menganjurkan kepada laki-laki dewasa yang pernah melancong dan bekerja di Riau dan Kepri untuk menjalani tes HIV ketika tiba kembali di Singpura.
Lho, mengapa Pemerintah Singapura menjalankan program tsb.?
Alasan Singapura menganjurkan tes HIV itu karena di Riau dan Kepri tidak ada program ‘wajib kondom 100 persen’ bagi laki-laki yang ngeseks dengan cewek penghibur dan PSK, seperti yang dijalankan Pemerintah Thailand.
Itu artinya laki-laki dewasa penduduk Singapura yang ngeseks dengan cewek penghibur atau PSK atau dua-duanya, berisiko tinggi tertular HIV/AIDS karena banyak kasus HIV/AIDS terdeteksi pada cewek penghibur dan PSK di Riau dan Kepri.
Sayang, tidak ada berita selanjutnya tentang jumlah atau persentase laki-laki Singapura yang terdeteksi mengidap HIV/AIDS setelah menjalani tes HIV sepulang dari Riau dan Kepri.
Nah, terkait dengan kebijakan Pemerintah Singapura itu perlu juga pemerintah, baik pusat maupun daerah (provinsi, kabupaten dan kota) untuk menjalankan program tsb. terhadap laki-laki yang pernah melancong ke Bali dengan berbagai alasan, seperti rapat dinas, wisata perusahaan, dll.
Dikabarkan dari Bali bahwa 75 persen PSK idap AIDS (tribunkaltim.co, 4/2-2015). Estimasi jumlah PSK langsung (PSK yang kasat mata yaitu yang mangkal di tempat-tempat pelacuran, barak-barak, dan lokasi pelacuran) di Bali 6.000, maka 75 persen idap AIDS jumlahnya 4.500 PSK. Dari 100 PSK ada 75 yang mengidap HIV/AIDS. Dari 4 PSK 3 di antaranya mengidap HIV/AIDS.
Sedangkan pada PSK tidak langsung (PSK tidak kasat mata karena mereka tidak mangkal, al. cewek panggilan, cewek disko, cewek kafe, cewek bar, cewek pemijar, ABG, ayam kampus, dll.) ada 20 persen yang mengidap HIV/AIDS. Jumlah PSK tidak langsung jauh lebih besar daripada PSK langsung.
Memang tidak semua laki-laki yang melancong ke Bali melakukan hubungan seksual di sana. Maka, anjuran tsb. ditujukan kepada laki-laki dewasa yang pernah ngeseks dengan PSK atau cewek penghibur (PSK tidak lansung) di Bali.
Dinas Kesehatan Prov Bali menyebutkan dari 6.000 PSK langsung di sana (PSK yang kasat mata yaitu PSK yang ‘praktek’ di tempat-tempat pelacuran) 75 persen mengidap HIV/AIDS. Itu artinya di Bali ada 4.500 PSK yang mengidap HIV/AIDS.
Prevalensi (perbandingan PSK yang idap HIV/AIDS dan PSK yang tidak idap HIV/AIDS) di kalangan PSK langsung di Bali sangat tinggi yaitu 3:1. Dari 4 orang PSK 3 mengidap HIV/AIDS sehingga probabilias (kemungkinan) hubungan seskual dilakukan dengan PSK pengidap HIV/AIDS sangat besar.
Kondisinya kian runyam karena Pemprov Bali sama sekali tidak mempunyai program penanggulangan yang komprehensif. Bahkan, dalam Peraturan Daerah (Perda) AIDS tingkat provinsi, kabupaten dan kota sama sekali tidak ada satu pun pasal yang menukik ke akar persoalan. Yang ada hanya jargon-jargon moral untuk konsumsi orasi politis (Perda AIDS Provinsi Bali).
Dengan kondisi HIV/AIDS pada PSK langsung sebesar 75 persen dan pada PSK tidak langsung 20 persen adalah masuk akal meniru cara yang dijalankan Pemerintah Singapura. Yaitu anjuran tes HIV bati laki-laki dewasa unutuk menjalani tes HIV sepulang dari Bali.
Langkah di atas sebagai bagian dari penanggulangan yaitu mencegah penyebaran HIV/AIDS yang dilakukan oleh laki-laki dewasa yang kemungkinan tertular di Bali. Soalnya, kalau mereka tidak terdeteksi, maka mereka pun menjadi mata rantai penyebaran HIV/AIDS secara horizontal di masyarakat al. melalui hubungan seksual tanpa kondom di dalam dan di luar nikah.
Ini peringatan bagi pemerintah provinsi, kabupaten dan kota di seluruh Indonesia terkait dengan penyebaran HIV/AIDS yang dilakukan oleh warganya yang pernah ngeseks di Bali. Soalnya, Bali menjadi tujuan wisata utama bagi orang Indonesia.
Pemerintah provinsi, kabupaten dan kota boleh-boleh saja lepas tangan, tapi ketika kelak kasus HIV/AIDS meledak itu artinya pemerintah setempat tidak akan mampu menangani pasien-pasien dengan latar belakangan pengidap HIV/AIDS. *** [Syaiful W. Harahap – AIDS Watch Indonesia] ***
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H