Mohon tunggu...
Syaiful W. HARAHAP
Syaiful W. HARAHAP Mohon Tunggu... Blogger - Peminat masalah sosial kemasyarakatan dan pemerhati berita HIV/AIDS

Aktivis LSM (media watch), peminat masalah sosial kemasyarakatan, dan pemerhati (berita) HIV/AIDS

Selanjutnya

Tutup

Pendidikan

Tes HIV sebelum Menikah (yang) Akan Sia-sia

9 Januari 2011   14:37 Diperbarui: 26 Juni 2015   09:47 1413
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
12945837181753815833

Menyibak Raperda AIDS Kota Medan

Calon pengantin harus di tes HIV/AIDS.” Ini judul berita di Harian ”Waspada”, Medan (7/1-2011). Disebutkan: Kepala Dinas Kesehatan Sumatera Utara, Chandra Syafei, melalui Kasi P2ML Sukami,  mengatakan ada beberapa hal yang bisa dimuat dalam perda tersebut. Misalnya, memeriksa pasangan suami isteri dan pasangan yang akan menikah, apakah terinfeksi virus HIV atau tidak.

Pemkot Medan dan DPRD Medan sedang membahas rancangan perda (Raperda) AIDS. Jika disahkan maka Perda AIDS Kota Medan ini merupakan Perda AIDS ke-43 di Indonesia dan yang ketiga di Sumatera Utara setelah Kab Serdang Bedagai dan Kota Asahan. Celakanya, sama seperti dalam perda-perda yang sudah ada tidak satu pun pasal dalam perda-perda tsb. yang menawarkan cara-cara pencegahan dan penanggulangan HIV/AIDS yang konkret. Ini membuat perda-perda itu babagaikan ’macan kertas’ yang menghiasi lemari arsip.

Wacana tes HIV sebelum menikah sudah mencuat ke permukaan. Ini menunjukkan pemahaman yang tidak akurat terhadap HIV/AIDS sebagai fakta medis. Tes HIV bagi calon pengantin akan sia-sia, al. karena; (1) Tes bukan vaksin, dan (2) Ada masa jendela. Hasil tes bisa salah kalau dilakukan pada masa jendela. Jika tetap dilakukan maka itu bagaikan ’menggantang asap’ atau pekerjaan yang sia-sia.

Jika tes HIV diwajibkan bagi semua calon pasangan pengantin maka kita sudah melakukan perbuatan yang melawan hukum dan pelanggaran berat terhadap hak asasi manusia (HAM). Cara ini pun sudah menyamaratakan perilaku semua orang yang merupakan prasangka buruk (suuzan) karena tidak semua orang berisiko tertular HIV.

Siapa, sih, yang berisiko tertular HIV? Selama ini ada salah kaprah karena yang dikategorikan sebagai orang yang berisiko tinggi tertular HIV adalah kalangan atau kelompok yaitu pekerja seks komersial (PSK), laki-laki ’hidung belang’, waria dan homoseksual serta orang-orang yang melakukan zina atau melacur. Risiko tertular atau menularkan HIV bukan pada kalangan atau kelompok tapi terletak pada perilaku seks orang per orang. Yang menularkan HIV kepada PSK justru laki-laki yang dalam kehidupan sehari-hari sebagai suami, lajang atau duda. Lalu, kalan ada PSK yang tertular HIV maka laki-laki yang mengencaninya kemudian berisiko pula tertular HIV.

Untuk itulah jika tetap ingin menerapkan tes HIV sebelum menikah dilakukan dulu konseling berupa bimbingan kepada calon pengantin tentang HIV/AIDS: cara-cara penularan, pencegahan dan perilaku berisiko. Jika ada dugaan, berdasarkan konseling, ada di antara mereka yang perilakunya berisiko maka dianjurkan untuk tes HIV dengan memperhatikan masa jendela (lihat gambar).

[caption id="attachment_84085" align="aligncenter" width="518" caption="Masa Jendela"][/caption]

Terkait dengan tes HIV perlu diperhatikan masa jendela yaitu rentang waktu antara tertular HIV dengan pembentukan antibody HIV. Tes HIV bukan mencari virus (HIV) dalam darah tapi antibbody HIV. Maka, jika tes HIV dilakukan pada rentang waktu masa jendela maka tes belum bisa mendeteksi antibody.

Hasilnya pun bisa HIV-negatif palsu karena virus (HIV) sudah ada dalam darah tapi tidak terdeteksi. Ini tentu mengundang bencana karena calon pengantin yang terdeteksi HIV-negatif (palsu) dianggap tidak mengidap HIV. Padahal, di dalam darahnya sudah ada HIV. Sebaliknya, calon pengantin yang terdeteksi HIV-positif palsu justru mendapat bencana karena dianggap sudah mengidap HIV. Padahal, di dalam darahnya tidak ada HIV.

Apa yang akan terjadi jika tes HIV terhadap calon pengantin yang masih perjaka dan perawan hasilnya positif? Positif di sini adalah positif palsu karena mereka tidak tertular HIV. Itulah sebabnya tes HIV selalu harus dikonfirmasi dengan tes lain. Misalnya, kalau tes pertama dengan ELISA maka contoh darah yang sama harus dites lagi dengan Western blot.

Untuk itulah calon pengantin dikonseling terkait dengan HIV/AIDS. Melalui konseling ini akan dapat diketahui perilaku calon pengantin: berisiko atau tidak berisiko. Hanya calon pengantin yang perilakunya berisiko saja yang menjalani tes HIV.

Yang berisiko tinggi tertular HIV adalah; (a) laki-laki atau perempuan yang pernah atau sering melakukan hubungan seksual tanpa kondom di dalam atau di luar nikah dengan pasangan yang berganti-ganti, (b) laki-laki yang pernah atau sering melakukan hubungan seksual tanpa kondom di dalam atau di luar nikah dengan yang sering berganti-ganti pasangan, seperti pekerja seks komersial (PSK) langsung (PSK di lokasi atau lokalisasi pelacuran, cewek panggilan di losmen, hotel melati dan hotel berbintang), dan PSK tidak langsung (’cewek bar’, ’cewek kampus’, ’anak sekolah’, ’cewek SPG’, selingkuhan, WIL, perempuan pemijat di panti pijat plus-plus, waria pekerja seks, dll.) serta pelaku kawin-cerai, (c) pernah atau sering memakai jarum suntik secara bergantian, (d) menerima transfusi darah yang tidak diskrining HIV, dan (e) menerima transplantasi organ tubuh yang tidak diskrining HIV.

Lagi pula biar pun hasil tes HIV pasangan calon pengantin negatif itu tidak berarti sepanjang hidupnya mereka akan tetap negatif karena tes HIV bukan vaksin. Bisa saja terjadi setelah tes atau setelah menikah salah satu di antara pasangan itu melakukan perilaku berisiko sehingga tertular HIV.

’Sertifikat’ hasil tes HIV sebelum menikah bisa mereka jadikan sebagai pegangan jika kelak ada di antara mereka yang terdeteksi HIV-positif. Masing-masing mempertahankan diri dengan ’sertifikat bebas HIV’ tsb.

Disebutkan pula: ” .... Pasangan yang mau menikah juga bisa dites terlebih dahulu, bukannya menghalangi untuk menikah, tapi ini perlu mengantisipasi agar anaknya lahir tidak terkena HIV.” Padahal, yang diperlukan sekarang adalah mendeteksi HIV di kalangan perempuan hamil karena sudah banyak kasus infeksi HIV di kalangan bayi yang menunjukkan ada perempuan hamil yang mengidap HIV.

Celaknya, adalam Ranperda AIDS Kota Medan tidak ada pasal yang ditujukan untuk mendeteksi HIV di kalangan perempuan hamil (lihat: Syaiful W. Harahap, Raperda AIDS Kota Medan: Penanggulangan di Awang-awang, http://edukasi.kompasiana.com/2011/01/07/raperda-aids-kota-medan-penanggulangan-di-awang-awang/). Yang ada adalah pasal tentang pencegahan HIV dari ibu-ke-bayi yang dikandungnya. Persoalannya adalah banyak perempuan hamil yang tidak menyadari dirinya sudah tertular HIV, terutama dari suaminya.

Dalam kaitan itulah yang diperlukan pada Perda AIDS adalah pasal konkret yang bisa mendeteksi HIV di kalangan perempuan hamil. ***

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Pendidikan Selengkapnya
Lihat Pendidikan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun