“Hari Cinta Puspa dan Satwa Nasional” diperingati setiap tanggal 5 November
Tidak sedikit rumah orang berduit dan pejabat yang ‘dihiasi’ dengan gading gajah, kepala rusa, kulit harimau dan satwa hidup di kandang dan di kolam. Selain itu bagian-bagian tubuh satwa yang dilindungi itu pun dijadikan bahan racikan ‘obat’. Satwa-satwa itu dilindungi, tapi tetap aman di dekapan orang-orang kaya dan pejabat. Sebaliknya, pemburu liar mendekam di penjara.
Perdagangan binatang yang dilindungi jadi komoditi yang mahal di pasar gelap, maka perburuan liar pun merajalela. Bahkan, ada yang hanya mengambil bagian-bagian tertentu dan membiarkan satwa tersebut sekarat. Misalnya, memotong cula badak atau menggergaji gading gajah. Ada pula yang hanya menyayat sirip hiu tapi dengan kematian hiu tsb.
Dalam berita “Konservasi Fauna. Ribuan Kulit Satwa Liar dan Dilindungi Disita” (Harian “KOMPAS”, 21/10-2016) disebutkan harga kulit harimau Sumatera bisa mencapai puluhan juta rupiah. Nah, dengan ancaman kurungan lima tahun dan denda Rp 100 juta bagi penadah dan pedagang seperti diatur di UU No 5 Tahun 1990 tentang Konservasi Sumber Daya Alam Hayati dan Ekosistem tentulah mereka tidak akan kapok. Vonis ‘kan bisa di bawah lima tahun sedangkan denda tidak seberapa jika dibandingkan dengan harga kulit dan satwa yang dilindungi.
Sudah saatnya ditinjau pengecualian untuk memajang kulit harimau, tengkorak satwa dan memelihara satwa hidup dalam bentuk perizinan karena tidak ada jaminan tidak terjadi transaksi berupa jual-beli satwa langka.
Tidak ada lagi alasan kecintaan kepada satwa sebagai dasar pemberian izin memelihara karena ada kebun binatang yang lebih berkompeten memelihara satwa-satwa langka yang dilindungi. Bagi yang cinta satwa ‘kan bisa jadi ‘bapak angkat’ satwa kesayangan dan berkunjung rutin ke kebun binatang.
Itu artinya ‘sayang satwa’ atau ‘cinta satwa’ tidak bisa jadi alasan memberikan izin kepada seseorang atau badan hukum untuk memelihara binatang yang dilindingi di luar habitatnya kecuali di kebun binatang yang diakui pemerintah.
Maka, sudah saatnya UU terkait perburuan dan perdagangan binatang yang dilindungi diamandeman dengan pijakan yang terbalik dari kondisi ril saat ini. Sanksi pidana tidak hanya diberikan kepada pemburu liar, tapi juga kepada pengolah kulit satwa, pengawet satwa, penadah, penjual dan yang tidak kalah pentingnya adalah pembeli.
Belakangan penjualan satwa yang dilindungi tidak lagi di pajang, tapi sekarang melalui media sosial. Selama 2014, misalnya, ada 3.640 iklan perdagangan satwa liar di media sosial (koran-sindo.com, 4/11-2015). Dengan kondisi itu diperkirakan merugikan negara hingga Rp 9 triliun per tahun. Sedangkan nilai perdangangan ilegal satwa liar di seluruh dunia jauh lebih mencengangkan, yaitu sekitar 10-20 miiliar dolar AS per tahun. Nilai ini merupakan angka terbesar kedua setelah bisnis narkoba (www.medanbisnisdaily.com, 13/5-2013).
Paradigma pemberian sanksi kurungan dibalik. Hukuman terberat bukan kepada pemburu liar, tapi sanksi pidana terberat berupa kurungan dan denda diberikan kepada pembeli. Kalau pembeli tidak ada tentulah perburuan pun akan berkurang karena tidak ada yang (akan) membeli satwa hasil buruan atau satwa dan kulit yang diawetkan. ***
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H